Jurnalisme Pacuan Kuda

Penulis

Wijayanto

Jumat, 26 April 2019 08:13 WIB

Hingga saat ini, Kamis 25 April 2019, proses hitung hasil Pilpres 2019 masih berjalan.

Wijayanto
Pengajar Universitas Diponegoro dan peneliti The Institute for Digital Law and Society

Prosesi Pemilihan Umum 2019 hampir usai. Pemungutan suara telah kita langsungkan pada 17 April lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan selambat-lambatnya pada 22 Mei rekapitulasi suara dapat diumumkan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan refleksi atas prosesi ini dari satu sisi peran media dan jurnalisme kita.

Satu hal yang segera tampak jelas dalam pemilu kali ini adalah kuatnya persaingan politik di antara kedua kubu dan pengikutnya, yang justru menjadi semakin intens seusai pemungutan suara. Ini terjadi tak lain karena kedua kubu sama-sama mengklaim kemenangan. Kubu pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01 merasa berhak mengklaim kemenangan karena berdasarkan hasil quick count dari berbagai lembaga survei, perolehan suara mereka mengungguli pesaingnya. Namun kondisi ini menjadi rumit manakala pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02 juga mengumumkan mereka memenangi pemilu berdasarkan penghitungan suara mereka sendiri. Situasi ini tak pelak memunculkan ketegangan di masyarakat, dan media setiap hari menampilkan pernyataan kedua kubu yang saling menyerang.

Terlepas dari pihak mana yang paling benar dalam adu klaim itu, tampak jelas bahwa media massa bukannya membantu meredakan ketegangan, melainkan justru semakin memanaskannya. Mengikuti langgam elite yang saling "berbalas pantun", masyarakat di bawah juga ikut larut dalam permusuhan sebagaimana tampak di media sosial. Media justru mempraktikkan apa yang oleh teoretikus komunikasi politik disebut sebagai "jurnalisme pacuan kuda". Ilmuwan politik dari Universitas Colombia, Anthony Broh (1988), mendefinisikan jurnalisme model ini sebagai jurnalisme yang membingkai pemilu tak ubahnya liputan perlombaan pacuan kuda, yang lebih berfokus pada persaingan perolehan suara para kontestan pemilu seperti terefleksi dalam hasil polling atau survei.

Media menghadirkan pula liputan aksi saling serang secara verbal di antara pengikut masing-masing kontestan untuk meramaikan perlombaan dan tak ubahnya penonton pacuan kuda saat mengelu-elukan para joki dari tepi lintasan. Jurnalisme model ini memang menarik karena keriuhannya mampu membuat para pendukung terlibat secara emosional tapi berpotensi memperuncing konflik.

Advertising
Advertising

Sesungguhnya, tren jurnalisme pacuan kuda yang marak dipraktikkan oleh berbagai media hari ini bukanlah hal yang mengejutkan. Penelitian Banducci dan Hanretty (2014) terhadap 160 media cetak dan penyiaran di 27 negara di Eropa menunjukkan bahwa dalam satu sistem kepartaian yang terpolarisasi, model peliputan jenis ini tak terhindarkan. Salah satu alasannya adalah model itu akan memberi kepastian tentang siapa yang kelak terpilih sebagai pemenang dan kebijakan seperti apa yang akan dihadirkan, terutama dalam situasi ketidakpastian karena kedua kontestan bersaing secara ketat.

Hal ini mirip dengan situasi di Indonesia, yangmeskipun menganut sistem multi-partai, pemilu sangat terpolarisasi karena hanya menghadirkan dua pasangan calon yang bersaing ketat. Hasil pemilu kali ini pun, setidaknya berdasarkan quick count, juga bersaing ketat. Kubu 02, meskipun dinyatakan kalah pemilu, mengantongi 45 persen suara pemilih atau hampir separuh pemilih.

Kedua peneliti tadi juga menyatakan bahwa jurnalisme model ini tidak sepenuhnya buruk. Bagi sebagian pemilih, terutama dengan tingkat pendidikan yang rendah, sajian informasi ini mudah diikuti. Namun hal ini akan menjadi berbahaya bagi demokrasi manakala menjadi pola yang dominan atau bahkan satu-satunya pola dalam pemberitaan. Bagi pemilih yang terdidik, ruang publik yang hanya dipenuhi angka-angka polling terbaru dan persaingan dangkal di antara kedua kubu hanya akan melahirkan sinisme dan apatisme terhadap proses pemilu. Selain itu, catatan buram dalam pemilu ini muncul karena mereka yang tidak apatis justru larut dalam persaingan berbalut kebencian.

Banyak pengamat dan berbagai survei mengungkapkan hal yang sama: pemilu kita kali ini miskin akan perdebatan yang substantif. Banyak isu yang gagal dielaborasi secara meyakinkan oleh kedua pasangan calon presiden-wakil presiden, seperti masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, perusakan lingkungan, semakin lemahnya posisi Komisi Pemberantasan Korupsi, ketimpangan ekonomi, dan kuatnya cengkeraman oligarki. Dalam perdebatan politik yang dangkal, korbannya adalah kita semua sebagai pemilih.

Di tengah perdebatan yang dangkal dan persaingan berbalut kebencian di antara kedua kubu beserta pengikutnya, media dituntut untuk memainkan perannya. Media perlu keluar dari jebakan jurnalisme pacuan kuda yang hanya mengejar rating. Media massa harus ikut berkontribusi meredakan ketegangan dengan menghadirkan jurnalisme damai.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya