Sandyakalaning Tiket Pesawat Murah

Penulis

Tulus Abadi

Selasa, 23 April 2019 08:08 WIB

Sejumlah penumpang mengantre di loket maskapai penerbangan untuk mengambil pengembalian uang tiket di Bandara Djalaludin, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, 30 April 2018. Bandara Djalaludin ditutup selama 16 jam karena tergelincirnya pesawat Lion Air. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

Hingga kini sengkarut mahalnya harga tiket pesawat terbang di Indonesia belum juga tuntas. Jeritan ribuan konsumen pun belum mampu meruntuhkan angkuhnya tembok maskapai penerbangan. Janji maskapai untuk menurunkan harga tiket di kisaran 20-50 persen terbukti hanya gimmick marketing alias janji manis belaka. Aksi pemerintah untuk menurunkan harga tiket pun terkesan aksi populis dan politis, bahkan main hantam kromo, termasuk menurunkan harga avtur hingga 25 persen lebih murah dibanding harga avtur di Bandar Udara Changi, yang terbukti tak mujarab.

Kementerian Perhubungan, alih-alih serius menurunkan harga tiket sebagaimana permintaan konsumen, malah menaikkan persentase harga batas bawah menjadi 35 persen, dari semula 30 persen, dari batas atas. Bahkan harga tiket yang masih tinggi ini membuat respons Direktur Jenderal Perhubungan Udara tampak "asbun", yakni akan memberikan subsidi untuk maskapai. Alamak, penumpang pesawat komersial akan diberikan subsidi?

Sejatinya, sengkarut harga tiket pesawat ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mewujudkan industri penerbangan nasional yang sehat dan andal. Sejak digulirkannya deregulasi di sektor penerbangan dan bahkan kebijakan ruang terbuka, pemerintah tampak ugal-ugalan dalam memberikan perizinan kepada maskapai, baik untuk rute baru maupun frekuensi jadwal penerbangan.

Perizinan itu diberikan tanpa melihat kemampuan maskapai, khususnya kemampuan finansial dan/atau sumber daya manusianya. Perizinan itu juga diberikan tanpa studi kelayakan yang jelas, bahkan tanpa studi kelayakan sama sekali. Pemberian izin terhadap maskapai ini berkelindan dengan bertumbuhnya bandara-bandara baru di berbagai daerah. Bahkan banyak bandara baru itu berlomba untuk menjadi bandara internasional. Akibatnya, maskapai seperti terkena "jebakan Batman": demi menghidupkan rute-rute baru dan tingginya frekuensi jadwal penerbangan itu, hampir semua maskapai melakukan "perang dagang" untuk menggaet sebanyak mungkin calon konsumen.

Advertising
Advertising

Wujud perang dagang itu adalah tarif murah, semurah-murahnya. Hal itu dilakukan demi menjaga keberlangsungan maskapai, setidaknya agar perizinan maskapainya tidak dicabut oleh regulator. Tak pelak, perang dagang dengan tarif murah itu, pada konteks kompetisi, bisa membuat antar-maskapai saling membunuh. Pada titik itulah, dipicu oleh jatuhnya AirAsia pada 2014, Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, membuat regulasi tarif batas atas dan bawah.

Tarif batas bawah diberlakukan untuk melindungi maskapai dari fenomena persaingan tidak sehat, sedangkan tarif batas atas untuk melindungi konsumen agar tarif pesawat tidak menyundul langit. Namun, di lapangan, formulasi tarif ini tidak mampu mewujudkan industri penerbangan yang sehat dan andal. Dari sisi manajemen finansial, semua maskapai mengalami perdarahan hebat, termasuk maskapai pelat merah (Garuda). Dari sisi keandalan dan pelayanan konsumen, profil kinerja ketepatan waktu masih buruk sehingga sebuah maskapai kerap dijuluki sebagai "rajanya delay".

Wujud kegagalan berikutnya adalah manakala pemerintah tidak konsisten dengan regulasinya, misalnya soal pengelompokan maskapai dalam tiga kategori, yakni full services, medium services, dan no frills alias low cost carrier (LCC) atau maskapai berbiaya murah. Mengapa tak konsisten? Untuk kategori LCC, sejak awal regulasinya sudah jelas bahwa bagasinya berbayar, tidak seperti dua kategori lain. Namun, selama ini, belum pernah satu pun maskapai LCC menerapkan bagasi berbayar, kecuali AirAsia. Jadi, tidak heran jika konsumen marah manakala maskapai LCC memberlakukan bagasi berbayar pada awal 2019 karena selama ini beranggapan bagasi pada maskapai seperti Lion Air dan Citilink gratis. Anggapan ini tidak salah karena selama ini nyaris tidak pernah ada sosialisasi terkait dengan hal tersebut.

Selain itu, tingkat kemarahan konsumen makin memuncak manakala kenaikan tiket pesawat itu terakumulasi dengan kebijakan bagasi berbayar. Apalagi persentase tarif bagasi itu jelas ugal-ugalan, mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 930 ribu. Bandingkan dengan tarif bagasi maskapai Jetstar, sebuah maskapai LCC dari Qantas Air Australia, yang hanya sebesar Rp 230 ribu untuk penerbangan dari Denpasar ke Brisbane, dengan waktu tempuh lebih dari enam jam.

Tragisnya, pemerintah tampak limbung. Pemerintah, yang ingin tampil populis di mata publik, menekan maskapai penerbangan untuk segera menurunkan tarifnya, bahkan dengan ancaman sanksi segala. Padahal pemerintah sebenarnya memahami bahwa kondisi maskapai udara sudah sangat berat dari sisi finansial.

Idealnya, tarif pesawat harus mencerminkan keadilan dan keberlanjutan bagi konsumen dan operator. Adil bagi konsumen adalah pada aspek keterjangkauan dan pelayanan. Adil bagi maskapai adalah tarif yang mencerminkan biaya nyata dan margin keuntungan yang wajar. Bukan tarif yang didesain secara populis, bahkan politis, atau bahkan tarif banting harga, yang ujung-ujungnya saling mematikan maskapai.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya