Menimbang Kebijakan Agraria

Penulis

Gutomo Bayu Aji

Jumat, 12 April 2019 07:49 WIB

Rapat Kerja Nasional Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2019 dibuka di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019. SUBEKTI

Gutomo Bayu Aji
Peneliti LIPI

Kritik terhadap kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) belakangan ini terpusat pada dua masalah. Pertama, redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA) yang meleset dari target, seperti luas dan jumlah bidang tanah, lokasi obyek redistribusi, dan subyek penerima manfaat yang tidak sesuai. Kedua, sertifikasi tanah sebagai implementasi sistem administrasi pertanahan dianggap mendukung agenda liberalisasi pertanahan Bank Dunia di dalam sistem pasar tanah.

Kritik itu secara tidak langsung juga telah membongkar proses pembuatan kebijakan RAPS yang bisa dikatakan prematur. Sebagai contoh, penetapan target TORA sebesar 9 juta hektare dan perhutanan sosial 12,7 juta hektare tidak dibuat berdasarkan kondisi lapangan. Penentuan luas dan lokasi didasari peta indikatif dengan skala 1:250 ribu yang tidak bisa mengidentifikasi batas-batas penguasaan tanah secara aktual, tumpang-tindih penguasaan lahan, serta relevansi obyek RAPS dengan subyek penerima manfaat, antara lain dari jarak lokasi, kondisi tanah dan lingkungan, sistem pengairan, dan infrastruktur pendukung lainnya.

Contoh lain adalah tafsir atas keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 mengenai hutan adat di dalam RAPS, yang menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan hal itu belum disiapkan dengan baik. Selain Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang mandek, tafsir atas putusan MK, yaitu dari "hutan adat bukan hutan negara" menjadi "hutan adat bukan hutan negara yang dipertahankan fungsinya sebagai hutan oleh negara" menjadi tafsir yang bernuansa domestikasi. Hal ini setidaknya berbeda dengan tujuan perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Dilihat dari perbandingan, total target 21,7 juta hektare itu hanya sekitar 11 persen dari luas daratan Indonesia, sekitar 17 persen dari luas kawasan hutan, dan kurang dari 30 persen dari total konsesi hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, dan hak guna usaha yang terdata secara resmi. Perbandingan ini belum menghitung bentuk-bentuk penguasaan tanah lain oleh negara dan swasta, seperti yang terakumulasi dalam bank tanah di kawasan-kawasan pangan, permukiman, industri, dan berikat. Dengan kata lain, total target itu masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan penguasaan tanah oleh negara dan swasta.

Advertising
Advertising

Masalah mendasar yang tidak disentuh sama sekali dalam kebijakan RAPS adalah struktur penguasaan tanah yang terakumulasi di lingkaran elite ekonomi-politik oligarki. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan itu bukan hanya prematur, tapi ada kemungkinan juga teledor. Implementasi kebijakan RAPS itu sekarang meleset dari target. Masalah struktur penguasaan tanah pun sebatas menjadi komoditas politik dalam debat calon presiden atau selama masa kampanye pemilihan presiden.

Maka, rasanya kurang relevan apabila beberapa kalangan meninjaunya dari segi dampak, sebagaimana cara pandang evaluatif yang mengemuka belakangan ini. Alih-alih meninjau dampaknya, kebijakan RAPS itu juga belum menyentuh banyak hal yang berkaitan dengan pasca-redistribusi, seperti teknologi produksi dan sistem budi daya, teknologi pengolahan pascapanen, distribusi produk dan redistribusi manfaat, serta lembaga ekonomi dalam sistem pemasaran.

Saat ini, ketimbang meninjau dampak yang belum tentu menemukan relevansinya, lebih penting menarik pembelajaran dari "kebijakan yang masih bayi" itu. Pada saat perencanaannya, kebijakan itu memang tampak lebih didorong oleh keberanian ketimbang kecermatan setelah dipetieskan dalam trauma masa lalu selama lebih dari setengah abad terakhir.

Tapi setidaknya kita bisa merawat keberanian itu ke dalam suatu refleksi tentang kebutuhan-kebutuhan-termasuk data, informasi, pendekatan, dan organisasi-yang bisa digunakan untuk menyusun strategi kebijakan reforma agraria yang kontekstual dengan zaman sekarang dan mempunyai daya rombak terhadap struktur penguasaan tanah itu.

Selain itu, sekarang tidak ada lagi kekuatan revolusi yang bisa menggerakkan agenda reforma agraria di dalam suatu "gebrakan cepat". Hampir semua partai politik tidak menunjukkan ketertarikan pada agenda ini. Sementara itu, kekuatan dari bawah, yang diimajinasikan sebagai people power, tidak pernah terbentuk hingga kini atau malah tersegmentasi ke dalam berbagai kepentingan yang berlainan arah.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya