Efek Bradley dalam Survei Pemilu

Penulis

Ikhsan Darmawan

Kamis, 28 Maret 2019 09:13 WIB

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kanan) memeriksa hasil cetak surat suara di PT. Temprina Media Grafika Jalan Raya Sumengko Km 30-31 Wringinanom Gresik, Jawa Timur, Minggu, 20 Januari 2019. Kunjungannya itu untuk menyaksikan secara langsung proses cetak perdana surat suara Pemilu 2019. ANTARA

Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Istilah "efek Bradley" telah lama dikenal dalam studi pemilihan umum. Efek Bradley dapat didefinisikan sebagai kondisi saat hasil survei tidak akurat karena ada bias identitas sosial (persoalan ras) dan umumnya terjadi dalam pemilu yang berlangsung sengit (Solem, 2008).

Efek Bradley terjadi ketika ada ketidakakuratan hasil survei karena pemilih yang menjadi responden, terutama yang berkulit putih, tidak jujur akan kemungkinan pilihannya karena khawatir dikritik berpikiran rasial (Aurelio, 2008). Hopkins (2008) meragukan efek Bradley itu benar-benar ada ketika dia menganalisis 180 kasus pemilihan gubernur dan anggota Senat Amerika Serikat dari 1989 sampai 2006.

Riset-riset sebelumnya tentang efek Bradley didominasi oleh studi yang berusaha mengukur sejauh mana eksistensi efek itu dalam pemilu (Hopkins, 2008; Jeffries and Ransford, 1972; Stromberg, 2008; serta Stout and Kline, 2008). Adapun studi lain ingin melihat lebih detail sejarah "teori" efek Bradley (Payne, 2010).

Studi tentang efek Bradley di Indonesia pernah dilakukan oleh Djayadi Hanan (2016), yang melihat adanya kemungkinan efek Bradley dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017. Artikel ini mengisi celah terbatasnya studi tentang efek Bradley dalam kasus pemilihan presiden di Indonesia.

Advertising
Advertising

Artikel ini ingin melihat efek Bradley dari kacamata yang lebih luas (selanjutnya menggunakan istilah efek Bradley). Efek Bradley dalam artikel ini adalah ketidaksesuaian hasil survei dengan kenyataan sebenarnya karena ketidakjujuran responden survei yang disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah pemilihan yang kompetitif. Faktor kedua adalah problem identitas sosial, seperti masalah pelabelan terhadap kandidat, yang juga berdampak terhadap pemilih. Dalam kondisi seperti sekarang, apakah efek Bradley dapat terjadi di Indonesia?

Saya berpendapat bahwa efek Bradley dapat terjadi di sini. Saya akan menunjukkan indikasi pernah adanya efek Bradley di Indonesia sekaligus merefleksikan hal itu untuk pemilihan presiden pada April 2019.

Dalam pemilihan kepala daerah Jakarta 2017 putaran kedua, sejumlah lembaga survei merilis hasil survei menjelang hari-H. Mereka menyimpulkan bahwa pada saat survei dilakukan, Anies Baswedan akan kalah atau unggul tipis, tapi ternyata Anies menang dengan selisih relatif signifikan. Hasil pemilihan putaran kedua adalah Anies meraih 57,96 persen suara, sementara Basuki Tjahaja Purnama meraih 42,04 persen.

Charta Politika merilis hasil surveinya dan menyebutkan bahwa elektabilitas Anies adalah 44,8 persen atau lebih rendah daripada Basuki yang 47,3 persen (margin of error 3,5 persen). Empat lembaga survei lain, yaitu SMRC, LSI, Median, dan Indikator Politik Indonesia, menyebutkan elektabilitas Anies berada di kisaran 47,9 persen sampai 51,4 persen (rentang margin of error 4,2-3,8 persen).

Menurut empat lembaga itu, Basuki memperoleh suara di rentang 42,7-47, 4 persen. Apa artinya? Bila dihitung dengan menambah atau mengurangi hasil yang mereka peroleh dengan margin of error, masih terdapat selisih yang cukup jauh (6-13 persen), terutama pada hasil yang diperoleh Anies. Saya meyakini bahwa selisih signifikan itu dapat dijelaskan oleh efek Bradley.

Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada awalnya diikuti tiga pasangan calon, dan pada putaran kedua diikuti dua pasangan calon. Kompetisi yang ketat itu juga diwarnai menghangatnya situasi masyarakat, terutama di media sosial, tentang pelabelan yang melekat pada kedua calon.

Contohnya, Anies saat itu disebut-sebut oleh pendukung Basuki sebagai kandidat yang didukung kelompok Islam radikal. Adapun Basuki diberi label sosok yang keras dan sulit berbicara santun. Dalam situasi seperti itu, calon pemilih yang kebetulan menjadi responden survei sangat mungkin menjawab berbeda dengan pilihan dia sebenarnya pada hari-H karena khawatir akan dampak dari kejujurannya menjawab dilihat berbeda dengan pilihan yang "baik" menurut kondisi saat itu.

Dalam konteks pemilu presiden 2019, terdapat dua prakondisi, yakni pemilihan diikuti oleh dua kandidat dan pelabelan terhadap keduanya. Berangkat dari situ, saya memperkirakan kemungkinan adanya efek Bradley dalam pemilihan nanti bukanlah hal yang mustahil. Maka semua pihak, baik masyarakat, tim sukses, maupun pasangan calon presiden-wakil presiden, perlu hati-hati dalam menyikapi hasil survei yang dirilis semua lembaga survei. Bisa jadi hasil survei itu tidak sejalan dengan kondisi aktual di masyarakat. Sebab, lembaga survei tidak bisa sepenuhnya menghilangkan adanya kemungkinan bias yang terjadi akibat kondisi yang ada saat ini sehingga menyebabkan para responden tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan secara jujur.

Sebagai penutup, semua pihak perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya efek Bradley dalam pemilihan presiden 2019 karena adanya persaingan yang ketat dan pelabelan terhadap para kandidat presiden. Berhati-hati lebih baik daripada terkejut karena efek Bradley terjadi untuk kedua kalinya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya