Di Balik Penghargaan Wajib Pajak Besar

Penulis

Haryo Kuncoro

Selasa, 26 Maret 2019 07:00 WIB

Wajib pajak melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak di kantor pelayanan di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018. Pendapatan negara tumbuh 16,0 persen, didukung kinerja penerimaan perpajakan yang mampu tumbuh 14,3 persen. TEMPO/Tony Hartawan

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, baru saja memberikan penghargaan kepada 30 wajib pajak, yang terdiri atas 24 badan dan 6 orang pribadi, sebagai pembayar pajak terbesar kepada negara. Penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari wajib pajak besar mencapai Rp 418,73 triliun, naik dari tahun lalu yang sebesar Rp 361,84 triliun.

Acara ini sejatinya rutin dilaksanakan tiap tahun. Namun pergelaran pada tahun ini terasa agak berbeda. Pertama, apresiasi kepada wajib pajak besar terjadi tatkala kritik terhadap kenaikan utang negara masih terus berlangsung. Pemerintah seakan-akan ingin menyampaikan pesan bahwa pendanaan belanja juga ditempuh lewat peningkatan penerimaan pajak.

Kedua, penghargaan terhadap kontribusi wajib pajak besar bersamaan dengan pemberlakuan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Program ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengintip basis pajak dari industri keuangan. Jadi, besarnya kontribusi wajib pajak besar sebetulnya merupakan hal yang wajar.

Ketiga, apresiasi kepada wajib pajak besar juga terjadi berbarengan dengan masa pengisian surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Dengan demikian, acara tersebut seakan-akan menjadi ajang promosi sekaligus provokasi agar wajib pajak segera melaporkan SPT-nya dengan benar dan tepat waktu sampai tenggat 31 Maret 2019.

Advertising
Advertising

Keempat, kenaikan penerimaan negara pada APBN 2018 melampaui target (102,5 persen). Sayangnya, masih terjadi kekurangan (shortfall) dalam penerimaan perpajakan dari sasaran awal sebesar Rp 108,1 triliun. Walhasil, penghargaan kepada wajib pajak besar menjadi semacam pengakuan atas kontribusi mereka terhadap kondisi keuangan negara.

Hal terakhir itu tampaknya sangat relevan. Dari target penerimaan perpajakan nasional pada APBN 2019, yang sebesar Rp 1.577,6 triliun, wajib pajak besar diberi "jatah" beban sumbangan Rp 498 triliun. Jumlah tersebut akan menyumbang 31,57 persen, naik 19 persen dari realisasi pada 2018.

Besarnya porsi kontribusi pajak dari wajib pajak besar terhadap total penerimaan pajak negara ini juga tidak luput dari kewaspadaan. Secara tidak langsung, kondisi keuangan negara memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap para wajib pajak besar. Penerimaan pajak negara yang terkonsentrasi pada wajib pajak besar tentu sangat berisiko.

Jika kinerja sektor usaha (wajib pajak besar badan) itu sedang turun, misalnya, atau wajib pajak orang pribadi tengah mengalami masalah finansial, niscaya hal itu akan berdampak langsung terhadap penerimaan. Ringkasnya, ada isu kesinambungan penerimaan pemerintah yang dipertaruhkan di masa depan.

Di sisi lain, besarnya kontribusi wajib pajak besar ini juga menunjukkan tingginya ketimpangan pendapatan dan kekayaan di Indonesia. Struktur penerimaan pajak pun terkena imbasnya. Struktur penerimaan PPh masih didominasi oleh PPh badan (90 persen). Sebaliknya, PPh orang pribadi hanya menyumbang 10 persen.

Ketimpangan struktur penerimaan pajak juga tecermin dari perimbangannya dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Nilai perolehan PPN, yang merupakan pajak tidak langsung, hanya sedikit di bawah PPh, yang merupakan pajak langsung.

Sementara pembayaran pajak tidak langsung bisa digeser bebannya kepada pihak lain, pembayar pajak langsung sekaligus menjadi penanggung beban akhir. Akibatnya, ketimpangan distribusi beban (tax incidence) pajak juga besar.

Padahal praktik terbaik secara internasional menyarankan penerimaan pajak langsung lebih tinggi daripada pajak tidak langsung, dan perolehan PPh orang pribadi semestinya lebih dominan daripada PPh badan. Dalam perekonomian yang bergejolak, upah karyawan jarang turun.

Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan upaya untuk melakukan intensifikasi pajak. Direktorat Jenderal Pajak mesti lebih giat menggali potensi penerimaan pajak dari wajib pajak lain. Konkretnya, untuk mengejar target rasio pajak 12,2 persen, sokongan dari wajib pajak menengah dan kecil tetap diperlukan.

Dorongan untuk memperoleh penerimaan dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sangat logis dengan porsi 80 persen bangun usaha di Indonesia berskala UMKM. Bidang usaha ini mampu menyerap 99 persen tenaga kerja.

Jumlah penduduk yang berstatus pekerja juga mencapai 115 juta jiwa. Jadi, terdapat potensi sekitar 85 juta wajib pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan.

Maka langkah awal paling realistis yang dilakukan pemerintah adalah menekan praktik penyimpangan dalam pembayaran pajak. Hal ini mutlak untuk mengkonversi potensi penerimaan menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak. Langkah berikutnya adalah mentransformasi profil UMKM menjadi UMKM yang modern sehingga terjangkau pajak.

Jika ini bisa dilakukan, penerimaan pajak setidaknya akan bertambah 10 persen tanpa ekstensifikasi pajak. Dalam kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal seperti sekarang ini, tidaklah bijak apabila upaya mengejar target rasio pajak dilakukan dengan ekstensifikasi pajak.

Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa perbaikan ekosistem yang melingkupinya niscaya akan kontraproduktif, bukan hanya bagi penerimaan pemerintah, melainkan juga bagi masyarakat luas.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya