Stop Kriminalisasi Nelayan Dadap

Penulis

Selasa, 12 Maret 2019 07:15 WIB

Stop Kriminalisasi

Penangkapan Ketua Forum Masyarakat Nelayan Kampung Dadap, Waisul Kurnia, menambah satu bukti kemunduran demokrasi di Tanah Air. Ia mengajukan protes karena rezeki para nelayan terganggu. Hak berpendapat seperti itu seharusnya mendapat respons yang baik, bukan malah berujung kriminalisasi.

Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya mencokok Waisul pada Rabu malam pekan lalu. Meski dilepaskan sehari kemudian, ia kini berstatus wajib lapor. Cerita bermula saat Waisul mengeluhkan pembangunan jembatan yang menghubungkan kawasan Pantai Indah Kapuk 2 dengan Pulau C hasil reklamasi, pertengahan Juli tahun lalu.

Waisul mengatakan proses konstruksi menyebabkan nelayan terpaksa melaut lebih jauh. Ikan-ikan menjauh akibat terganggu kebisingan pembangunan jembatan. Sejumlah media massa ramai-ramai mengutip keluhan itu. Pernyataan itu juga tersebar di media sosial.

Tapi kontraktor jembatan, PT Kapuk Naga Indah, melaporkan Waisul ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada September 2018, dan ia pun dijerat dengan pasal pencemaran nama. Menggunakan pasal ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Waisul dituduh menyebarkan kabar bohong. Dia mengajukan gugatan praperadilan pada Februari lalu, namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolaknya.

Waisul acap bersikap kritis terhadap pembangunan pulau-pulau reklamasi di sekitar Teluk Jakarta. Ia dan para nelayan berhak berpendapat dan menyampaikan aspirasi jika merasa dirugikan ihwal pembangunan. Kritik itu seharusnya ditanggapi dengan baik, misalnya dengan menjelaskan dampak positif pembangunan jembatan, jika ada. Penetapannya sebagai tersangka seolah-olah memperlihatkan bahwa hukum lebih peduli kepada pengusaha.

Advertising
Advertising

Kasus ini juga cerminan dari kebebasan berpendapat yang kian mahal hari-hari ini. Sehari setelah pembebasan Waisul, polisi menangkap dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, karena dianggap menghina Tentara Nasional Indonesia. Padahal Robet sedang mengingatkan publik agar mewaspadai kembalinya dwifungsi TNI.

Sama seperti Waisul, Robet dipaksa "menginap" di kantor polisi dan sehari semalam menjalani pemeriksaan serta pemberkasan. Saat ini keduanya masih berstatus tersangka.

Negara menjamin hak penduduk untuk berkumpul dan berpendapat. Hal ini tercantum secara jelas dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan berpendapat juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyebutkan berpendapat adalah hak. Artinya, negara seharusnya memberikan tempat yang baik kepada masyarakat yang berpikir kritis, bukan malah menangkap mereka.

Kriminalisasi terhadap Waisul, Robet, dan para pengkritik lainnya harus dihentikan. Mereka hanya menggunakan haknya sebagai warga negara. Waisul yang berdomisili di sekitar pulau-pulau buatan, misalnya, sepatutnya waswas terhadap dampak negatif reklamasi dan pembangunan jembatan. Reformasi telah membebaskan publik bersuara, jangan sampai terjadi lagi pembungkaman pendapat seperti di masa Orde Baru.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya