Mencla-mencle Pidana Pemilu

Penulis

Selasa, 5 Maret 2019 07:00 WIB

Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif saat berbicara kepada awak media di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta, Kamis, 25 Oktober 2018. TEMPO/Syafiul Hadi

Maju-mundur sikap polisi dalam penyidikan kasus pidana pemilihan umum yang melibatkan Slamet Maarif, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, amat berbahaya. Seharusnya sejak awal Slamet tidak ditetapkan sebagai tersangka, bahkan sampai terancam dipanggil paksa, jika seluruh unsur pelanggaran hukumnya belum jelas benar. Penegakan hukum yang grasah-grusuh berpotensi menambah kekisruhan politik menjelang pemilihan presiden, bahkan memicu konflik di tingkat akar rumput.

Kepolisian Resor Surakarta menetapkan Slamet sebagai tersangka karena dia dianggap berkampanye di luar jadwal dalam acara tablig akbar di Surakarta, Jawa Tengah, 13 Januari lalu. Dia menyerukan massa tablig meneriakkan nama kandidat jagoannya. Polisi sempat dua kali memanggil Slamet untuk diperiksa, tapi dia mangkir. Belakangan, setelah rapat Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI, status tersangka Slamet dicabut.

Perubahan haluan inilah yang membuat syak wasangka sulit dihindarkan. Ada kesan aparat penegak hukum bermain mata pada masa kampanye pemilihan presiden yang kian sengit ini. Inkonsistensi semacam itu tak hanya mencoreng citra Korps Bhayangkara, tapi juga mengoyak kepastian hukum di masyarakat.

Apalagi, jika dirunut ke hulu, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebenarnya menyimpan masalah. Hukuman bagi orang yang berkampanye di luar jadwal, misalnya, sama dengan hukuman bagi peserta pemilu yang memanipulasi laporan dana kampanye. Kedua pelanggaran ini diganjar hukuman kurungan satu tahun dan denda Rp 12 juta.

Padahal derajat pelanggaran untuk aksi berkampanye di luar jadwal jelas berbeda dengan upaya memanipulasi laporan dana kampanye. Di balik manipulasi laporan keuangan peserta pemilu, misalnya, bisa jadi ada kejahatan lain, seperti korupsi atau pencucian uang. Besaran kerugian dan korbannya jauh lebih jelas ketimbang pelanggaran jadwal kampanye. Karena itu, hukuman bagi pelakunya juga seharusnya lebih berat. Sedangkan pelaku pelanggaran jadwal kampanye seperti Slamet Maarif seharusnya cukup diganjar hukuman berupa denda.

Advertising
Advertising

Keberadaan pasal-pasal pidana pemilu yang multitafsir, apalagi disertai ancaman hukuman badan, membuat kuasa polisi rawan disalahgunakan. Di tangan penegak hukum yang partisan, pasal-pasal itu bisa menjadi pedang bermata dua: untuk melindungi kawan atau melibas lawan. Karena itulah revisi atas aturan pidana pemilu ini menjadi mutlak.

Dengan kondisi regulasi yang tak ideal, sudah seharusnya penegak hukum tak sembarangan menerapkan pasal-pasal pidana pemilu. Ketika aturan diterapkan secara tebang pilih, setiap keputusan berpotensi memicu kontroversi. Pihak yang dirugikan bisa menuduh aparat tidak netral. Terlebih jika status tersangka itu mempengaruhi hasil pemilihan umum kelak. Ini bisa berujung pada gugatan atas legitimasi hasil pemilu. Penegakan hukum yang tak transparan dan berat sebelah atau tak netral rawan memicu konflik atau kekerasan horizontal.

Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tegas menyatakan setiap anggota kepolisian harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Demi kelancaran dan legitimasi pesta demokrasi kita, polisi jangan coba-coba bermain api.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya