Vonis Dhani dan Kebebasan Berekspresi

Penulis

Rabu, 6 Februari 2019 12:05 WIB

Ahmad Dhani dijatuhi vonis 1,5 tahun dalam kasus ujaran kebencian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

AHMAD Dhani Prasetyo adalah korban tindakan penegak hukum yang gegabah dan lenturnya aturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Musikus dan politikus ini divonis 1 tahun 6 bulan penjara karena dinilai menyebarkan kebencian. Pasal yang menjerat Ahmad Dhani sudah sering dikritik dan seharusnya dihapus karena mencederai kebebasan berpendapat sekaligus merusak demokrasi.

Negara jelas menjamin kebebasan mengemukakan sikap, pikiran, dan pendapat yang diatur dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945. Pendapat bisa disampaikan lewat cara apa pun, termasuk lewat media sosial seperti yang dilakukan Dhani. Menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, ia mencuit di Twitter: "Siapa saja yang dukung Penista Agama adalah Bajingan.…" Cuitan itulah yang menjadi dasar Jack Boyd Lapian-pendiri Basuki Tjahaja Purnama Network-melaporkan Dhani ke polisi sehingga akhirnya masuk bui.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menghukum Dhani semestinya mempertimbangkan ketentuan konstitusi itu dan tidak semata berpegang pada aturan dalam undang-undang yang mudah disalahtafsirkan. Cuitan yang dibaca jutaan warganet itu tentu saja amat tidak sopan dan kasar. Tapi kata-kata politikus Partai Gerindra itu tak otomatis bisa dikategorikan sebagai penyebaran informasi yang mengundang kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan seperti diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE.

Dampak sebuah ujaran kebencian seharusnya menjadi ukuran. Dapatkah penegak hukum membuktikan ucapan Dhani itu benar-benar telah memicu permusuhan sosial? Bukan lantaran pemahaman hukum yang lemah, kurang bijaknya penegak hukum lebih karena soal integritas. Dunia peradilan kita mudah sekali ditekan dan diintervensi pihak luar.

Kasus Dhani semacam balas dendam atas serangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan isu penistaan agama. Perkara Ahok tak hanya membuat ia kalah dalam pemilihan kepala daerah Jakarta, tapi juga membuatnya masuk penjara. Ia sebetulnya tidak layak diadili karena tuduhan menistakan agama. Nasib Ahok-kini ia sudah bebas-sebetulnya mirip Dhani: sama-sama menjadi korban dari peradilan yang tidak merdeka.

Advertising
Advertising

Memangkas pasal yang lentur merupakan salah satu cara mencegah penegak hukum bertindak seenaknya. Kelemahan aturan soal ujaran kebencian dalam Undang-Undang ITE semestinya segara dibenahi. Begitu pula pasal pencemaran nama dalam undang-undang yang sama. Dua pasal ini sering dipakai untuk mengkriminalisasi warga negara. Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat 259 kasus Undang-Undang ITE sepanjang Agustus 2008 -Januari 2019. Lebih dari 90 persen di antara mereka dijerat dengan delik ujaran kebencian dan pencemaran nama.

Revisi Undang-Undang ITE menjadi satu-satunya cara karena beberapa kali pengajuan uji materi oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi selalu ditolak. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh membiarkan pasal itu menjadi momok bagi masyarakat. Selama aturan itu ada, orang akan takut menyampaikan kritik.

Kita semestinya bisa merumuskan dengan lebih gamblang ujaran kasar yang sekadar untuk menekankan sikap atau pendapat dengan ujaran yang benar-benar menyebabkan permusuhan sosial. Jika tak bisa dirumuskan lebih jelas, pasal ujaran kebencian lebih baik dihapus karena mudah disalahgunakan dan terus-menerus memakan korban.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya