Pemilihan Presiden 2019: Kancil Vs Kelinci?

Jumat, 1 Februari 2019 07:12 WIB

Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu, 20 Januari 2019. ANTARA

Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com

Aesop (620-564 SM) mempunyai jejak panjang. Kisah-kisahnya tentang para binatang-disebut juga fabel-yang kemudian dipopulerkan Jean de La Fontaine pada abad ke-17 tidak saja tersebar dalam berbagai bahasa, tapi juga tidak berhenti sebagai dongeng kanak-kanak. Sebaliknya, alih-alih menjadi bentuk pedagogi moral, fabel Aesop sering berguna sebagai satire politik yang subversif dan tajam. Istilah "bahasa Aesopian" menjadi pengertian untuk mengganti kata "perumpamaan-sindiran".

Pada gilirannya, bagi dunia politik, orang menggubah fabel mereka sendiri. Di Indonesia, hewan yang muncul adalah kancil. Jokowi pernah digolongkan lawan politiknya sebagai kancil yang menipu buaya-buaya ganas sehingga menjadi jembatan bagi dirinya untuk menyeberang sungai.

Sekarang kita masuki fabel tentang lomba lari kancil melawan siput atau kelinci melawan kura-kura yang ditarik perspektifnya ke bidang filsafat, fisika, juga politik. Versi yang mana pun alurnya sama: kancil dan kelinci yang cepat larinya tidak pernah mampu menyalip siput dan kura-kura. Sebab, setiap kali kancil atau kelinci bertanya, "Kamu sampai di mana?", siput atau kura-kura selalu menjawab, "Aku di sini", jauh di depannya.

Begitu seterusnya sampai kancil dan kelinci terseok-seok kehabisan tenaga. Lomba lari dimenangi oleh siput dan kura-kura karena mereka mengerahkan kawan-kawan sejenisnya dalam jumlah yang tiada berhingga, sehingga di mana pun ruang dan kapan pun waktunya, selalu ada jawaban "Aku di sini" setiap kali kancil dan kelinci bertanya. Dalam filsafat, inilah kesadaran yang bergeming oleh nafsu tanpa pemikiran atau otak mengalahkan otot. Dalam fisika, itulah waktu yang melesat tanpa pernah melampaui ruang yang hanya perlu diam. Dalam politik, perlu penjelasan lebih panjang sedikit.

Advertising
Advertising

Surat kabar mingguan The Economist edisi 5 Januari 2019, dalam kolom Bagehot, mengutip kembali diktum Perdana Menteri Inggris, Harold Wilson (1916-1995): "Seminggu itu lama dalam politik." Tentu ini mengacu pada ketegangan Brexit di Inggris, antara pihak yang mau keluar secepat-cepatnya dari Uni Eropa, yakni mereka yang menang referendum, dan mereka yang ingin keluarnya Inggris berisiko (ekonomi) sesedikit mungkin melalui perundingan sealot-alotnya.

Ini sekadar contoh untuk menunjukkan adanya politik kecepatan tinggi (high-speed politics) yang menjadi kesaksian pentingnya politik kecepatan-rendah (low-speed politics), karena ruang politik digubah oleh orang-orang sabar yang berpikir dalam jangka dekade ketimbang mingguan. Jadi, ada yang berpikir dalam kerangka "sekarang juga"; ada yang melihatnya sebagai "Perang Tiga Puluh Tahun" untuk menyelamatkan Inggris dari adinegara (super-state) Eropa.

Sementara perjumpaan berbagai kelompok politik kecepatan rendah, baik dari aliran kiri maupun kanan, menjadi urusan orang Inggris, apakah yang bisa dipelajari untuk situasi Indonesia?

Masih mengacu pada kolom Bagehot, "Kemenangan Para Kura-kura" itu berarti: (1) Jangan berharap terlalu banyak pada kompromi-kompromi di menit terakhir. Hidup jangan dipertaruhkan dalam taktik menunggu jika ujung-ujungnya hanyalah kebajikan pragmatisme; (2) Perhitungan jangka panjang (long-termism) bisa mengakibatkan penilaian terlalu tinggi. Memang biasa mengutuk tirani jangka pendek (short-termism), yang semakin opresif pada abad kejahatan media baru, tapi perhitungan jangka panjang dapat berpasangan dengan monomania ataupun utopianisme.

Dalam hal Inggris, khususnya perkara Brexit, disebutkan bahwa perhitungan jangka pendek akan melakukan penyesuaian terus-menerus terhadap realitas yang selalu berubah. Maka kecenderungan bersabar justru lebih buruk akibatnya daripada perhitungan jangka pendek.

Di Indonesia, dalam persaingan di pemilihan presiden 2019, posisi Jokowi, yang proyek infrastrukturnya belum selesai, tentu akan mempengaruhi pilihan strategi kampanye. Sebab, dalam keterbatasan etis, proyek nasional tersebut tidak dapat diklaim sebagai pencapaian pribadi atau kelompoknya. Kendala ini tidak terdapat pada kubu Prabowo, tapi mereka juga belum bisa menjual rekam jejak dalam tata pemerintahan.

Bagaimanapun, dari kedua calon tidak akan terlihat sebuah pertarungan politik long-termism vs short-termism karena, jika dekade menjadi unit terkecil perhitungan jangka panjang, kedua kubu sebetulnya lebih terkonsentrasi pada taktik untuk "menang" pada pemilihan mendatang. Artinya, yang bertarung adalah perhitungan jangka pendek alias short-termism vs short-termism.

Dalam konversi ke metafor fabel, bukan kancil berlomba lari melawan siput atau kelinci melawan kura-kura, melainkan kancil versus kelinci. Tentu tidak perlu menafsirkan pihak mana yang dianggap kancil atau kelinci, apalagi siapa yang menang, karena, sesuai dengan fabel, dua-duanya toh kalah.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

6 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

35 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya