Vonis Dhani dan Ancaman Demokrasi

Penulis

Rabu, 30 Januari 2019 07:10 WIB

Ahmad Dhani dijatuhi vonis 1,5 tahun dalam kasus ujaran kebencian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Akhirnya Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani divonis 1,5 tahun penjara dalam kasus ujaran kebencian. Putusan ini memperlihatkan dua sekaligus kelemahan dunia hukum: banyaknya pasal karet dan pengadilan yang tidak benar-benar merdeka. Kelemahan ini mengancam kebebasan berpendapat dan merusak demokrasi.

Ahmad Dhani diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan gara-gara cuitannya di Twitter menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Saat itu calon inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tengah dihantam isu penistaan agama. Dhani pun menulis di akunnya, antara lain: "Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan…". Cuitan itulah yang menyebabkan ia masuk penjara. Vonis Dhani diketok hampir bersamaan dengan bebasnya Ahok dari hukuman kasus penistaan agama.

Perkara Ahok tidak layak dibawa ke pengadilan. Kasus ini terkesan dipengaruhi oleh tekanan sebagian kalangan Islam di tengah panasnya pertarungan politik dalam pilkada DKI. Begitu pula perkara Ahmad Dhani. Mencuatnya kasus ini tampak seperti upaya balas dendam dari kubu yang selama ini mendukung Ahok. Kelemahan sistem hukum dan peradilan kita memungkinkan munculnya kasus-kasus yang aneh.

Dalam kasus Dhani, lemahnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberikan andil besar. Musikus dan politikus Partai Gerindra ini dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE: menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Pelakunya diancam hukuman hingga 6 tahun penjara.

Aturan mengenai ujaran kebencian itu amat lentur, multitafsir, dan bisa disalahgunakan oleh siapa pun. Cuitan Dhani tersebut jelas kasar dan tidak sopan, tapi lebih tepat disebut sebagai "pendapat", bukan masuk kategori "informasi" seperti yang diatur dalam Undang-Undang ITE.

Advertising
Advertising

Pasal ujaran kebencian sama lemahnya dengan delik pencemaran nama atau penghinaan yang diatur dalam Pasal 27 undang-undang yang sama. Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat, hingga Oktober 2018, 381 orang telah menjadi korban dua pasal itu.

Fenomena itu jelas mengancam kebebasan berpendapat. Publik menjadi takut berpendapat, apalagi mengkritik penguasa, kelompok tertentu, atau perorangan. Kritik bisa ditafsirkan sebagai pencemaran nama dan ujaran kebencian. Hal ini merupakan celah bagi munculnya tindakan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok yang punya kuasa.

Lemahnya aturan hukum sebetulnya tidak otomatis memproduksi ketidakadilan jika hakimnya cukup bijak. Aturan yang amburadul bisa ditutupi oleh penegak hukum yang baik. Masalahnya, dunia peradilan kita pun terkesan mudah dipengaruhi, bahkan diintervensi, sehingga muncul kasus Ahok dan Dhani yang sama-sama ganjil.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya segera merevisi pasal-pasal yang antidemokrasi dalam Undang-Undang ITE. Langkah ini merupakan solusi yang masuk akal setelah berbagai upaya masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi tidak membuahkan hasil.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya