Di Asia, ada beberapa angka ‘keramat’. Untuk Filipina tahun 1986. Untuk Korea Selatan tahun 1987. Untuk Indonesia 1998. Dan mungkin Malaysia menganggap 2018 menjadi tahun penting.
Yang menyamakan tahun-tahun ini adalah karena seorang diktator runtuh dan seluruh masyarakat mempunyai harapan baru. Bagi para aktivis pro-demokrasi di negara-negara Asia, Korea Selatan adalah salah satu inspirasi ketika terjadi peristiwa Gwang Ju.
Sutradara Jang Joon-hwan dan penulis skenario Kim Kyung-chan menuangkan detik-detik jatuhnya diktator Chun Doo-hwan dengan peristiwa tewasnya mahasiswa Park Jong-chul di tangan para interogatornya.
Menit-menit pertama adalah kepanikan tim dokter yang mencoba menyelamatkannya, namun gagal. Menit-menit berikutnya adalah upaya tim Anti Komunis yang dipimpin Komandan Park Cheo-won (Kim Yoon-seok) untuk menutup-nutupi tewasnya Jong-chul. Adalah Jaksa Choi Hwan (Ha Jung-woo) yang disodorkan surat oleh tim intelijen agar dia menandatangani ijin melakukan kremasi tanpa melakukan otopsi terhadap jenazah mahasiswa Park –yang jelas bakal menghilangkan bukti-bukti penyiksaan di sekujur tubuh Jong-chul.
Tak peduli dengan tekanan atasannya, Choi Hwan malah menjungkirbalikkan perintah atasannya. Tentu saja kebandelan Choi, yang terkesan lebih karena jengkel dengan institusi Anti Komunis yang sudah sangat berlebihan dan menangkapi siapa saja yang mengeritik Chun Doo-hwan itu, digebrak oleh sang Komandan yang bertubuh besar dan mengerikan itu.
Sementara Cho Hwan lantas diam-diam membocorkan beberapa dokumen yang membuktikan bahwa kematian Jong-chul memang akibat dari penyiksaan, kita juga juga berkenalan dengan seorang sipir penjara yang diam-diam menyelundupkan beberapa informasi melalui majalah kepada pimpinan oposisi
Kim Jung-nam (Sol Kyung-gu).
Film ini menyorot beberapa tokoh di beberapa pelosok Korea Selatan, dari kalangan elite hingga mahasiswa yang semuanya memperlihatkan perlawanan mereka dengan cara masing-masing. Sang diktator hanya muncul melalui foto resmi di dinding atau beri di televisi yang disaksikan oleh si raksasa keji Komandan Park Cheo-won yang mudah sekali naik darah dan tampaknya ditakuti seluruh negeri.
Meski film ini mengambil gaya thriller, dengan ritme cepat dan terus menerus meringkus perhatian penonton dengan ketegangan demi ketegangan, kita juga tetap disajikan beberapa adegan yang kontepmplatif saat-saat orang tua Jong-chul mencoba mencerna berita bahwa tiba-tiba saja tubuh puteranya sudah tak bernyawa. Ketika sang Ayah mengucapkan kata-kata terakhirnya pada puteranya yang sudah menjadi debu di permukaan danau yang sudah membeku itu, maka lengkaplah film ini menjadi perkawinan genre thriller, drama sekaligus sejarah yang digambarkan dengan puitis dan menekan.
Karena sebagian besar cerita diinspirasikan oleh kisah nyata, maka tampaknya sulit bagi sutradara Jang Joon-hwan untuk tidak merekonstruksi berbagai adegan dari foto-foto legendaris. Beberapa adegan akhirnya nyaris seperti sebuah film dokumenter jika kisah cinta antar aktivis itu kita lupakan.
Para aktor tampil hebat, terutama si jahat komandan yang diperankan aktor terkemuka Kim Yoon-seok dan si jaksa idealis Choi howan yang diperankan Ha Jung-woo.
Film yang tengah beredar di berbagai negara ini –semoga bisa ditayangkan di Indonesia – menjadi sebuah film penting bukan saja karena temanya agar Korea Selatan tidak lagi jatuh ke tangan kumpulan serigala serakah dan keji tetapi juga karena sutradata Jang Joon-hwan berhasil menciptakannya menjadi film yang menggebrak.
1987, When the Day Comes
Sutradara: Jang Joon-hwan
Skenario: Kim Kyung-chan
Pemain: Kim Yoon-seok, Ha Jung-woo, Sol Kyung-gu
Produksi: CJ Entertainment