Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada awal pekan ini seolah-olah melemparkan kita kembali ke era Orde Baru. Ancaman semacam itu tak patut keluar dari mulut seorang pejabat di negara yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam konstitusinya.
Menanggapi kritik mengenai program pemerintah yang gencar membagikan sertifikat tanah kepada warga di pedesaan, dengan nada tinggi Luhut mengatakan, "Dia bilang kasih sertifikat kibulin rakyat, jadi asbun (asal bunyi) aja. Saya tahu kok track record kamu. Saya bisa cari dosamu. Emang kamu siapa?" ia menegaskan.
Ancaman jenderal purnawirawan yang kerap disebut sebagai orang kepercayaan Presiden Joko Widodo itu menyiratkan keengganan untuk diawasi. Ucapan Luhut tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai arogansi pemerintah dan penolakan untuk tunduk kepada supremasi hukum. Sikap semacam itu justru mencoreng kewibawaan dan kehormatan Presiden Joko Widodo.
Luhut memang tidak menyebutkan nama politikus yang menurut dia mengkritik pemerintah secara tidak adil itu. Namun khalayak langsung mengaitkan kemurkaan mantan tentara yang kariernya banyak dihabiskan di Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat ini dengan pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, sehari sebelumnya.
Dalam sebuah diskusi di Bandung, Jawa Barat, Amien mengatakan, "Ini pengibulan. Waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektare, tapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?"
Debat semacam ini sebenarnya hal biasa dalam demokrasi. Kritik dari oposisi di parlemen terhadap pemerintah merupakan bagian dari sistem politik yang menjamin kemandirian dan keberimbangan masing-masing cabang kekuasaan (checks and balances). Karena itu, semestinya Luhut menahan diri. Serangan dari Amien semestinya ditanggapi dengan tenang dan elegan.
Ketika Luhut menanggapi kritik Amien dengan ancaman, dia membawa kita kembali ke perilaku usang rezim masa lalu. Pada masa Orde Baru, pemerintah leluasa menggunakan kekuasaannya secara represif untuk membungkam suara-suara yang kritis. Walhasil, tak ada yang berani menyampaikan pendapat yang berbeda secara terbuka, sampai krisis ekonomi dan politik mencapai puncaknya pada 1998 silam dan pemerintah dipaksa mundur oleh tekanan massa.
Jika kritik Amien dinilai tak akurat, Menteri Luhut seharusnya bisa menunjukkan data dan informasi yang bisa mematahkan serangan itu. Dengan begitu, warga negara disuguhi perdebatan politik yang bermutu mengenai kebijakan-kebijakan yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
Yang paling disesalkan, ulah Luhut mengumbar kemarahan di hadapan publik dan menyerang pribadi lawan politiknya membuat substansi dari kritik Amien justru terabaikan. Harus diakui, ihwal ketimpangan penguasaan sumber daya masih menjadi masalah besar di negeri ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika, ke depan, Presiden Joko Widodo mengingatkan bawahannya agar menata bahasa dan memperbaiki perilaku politiknya di depan umum.
Berita terkait
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi
6 hari lalu
Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.
Baca Selengkapnya28 hari lalu
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik
35 hari lalu
Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.
Baca SelengkapnyaPenjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City
12 Februari 2024
Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.
Baca SelengkapnyaUrgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"
12 Februari 2024
Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.
Baca SelengkapnyaPT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta
6 Februari 2024
PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.
Baca SelengkapnyaBagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina
5 Februari 2024
Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.
Baca SelengkapnyaBamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai
22 Januari 2024
Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.
Baca SelengkapnyaPrabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia
15 Januari 2024
Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.
Baca SelengkapnyaMembatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan
15 Januari 2024
Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.
Baca Selengkapnya