SEGERA setelah Dewan Perwakilan Rakyat menetapkannya menjadi Gubernur Bank Indonesia pada April nanti, Perry Warjiyo dihadapkan pada tantangan berat mengendalikan moneter di tengah tekanan ekonomi global. The Federal Reserve pada akhir Januari lalu mengumumkan mengakhiri era suku bunga rendah yang diterapkan sejak 2009 akibat harga minyak dunia yang menggeliat.
Kebijakan The Fed itu diikuti kebijakan moneter negara maju lain, seperti bank sentral Cina, yang melakukan hal serupa. Negara-negara lain pasti akan mengikutinya untuk menahan laju inflasi dan kemerosotan nilai tukar mata uang mereka. Mau tak mau Bank Indonesia mesti menempuh cara serupa agar rupiah tak melemah.
Masalahnya, tekanan kepada rupiah terus menguat kendati gejolak finansial global dunia sudah mereda. Nilai tukar rupiah terus merosot hingga 13.700 per dolar Amerika Serikat dan hampir US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.378 triliun) dana investasi portofolio mengalir ke luar negeri--saat negara lain di Asia justru menikmati modal asing. Untuk sementara, penurunan rupiah memang tak terlalu drastis. Itu barangkali karena bank sentral masih punya cadangan devisa US$ 130 miliar (sekitar Rp 1.791 triliun)
Tentu saja penurunan nilai rupiah itu bukan kabar bagus. Anomali di sekitarnya menunjukkan ada masalah laten yang belum teratasi. Biang kerok penyebabnya adalah defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi sejak 2011.
Neraca transaksi berjalan menunjukkan Indonesia menjadi peminjam neto dari negara lain akibat modal yang masuk tak terpakai untuk pembiayaan produktif. Defisit ini terjadi akibat berakhirnya booming harga komoditas setelah ekonomi Tiongkok yang menjadi penyerap terbesar barang ekspor Indonesia rada meriang. Sementara itu, kebutuhan yang meningkat di dalam negeri membuat permintaan impor jadi naik.
Neraca ini sempat terkerek ketika Presiden Joko Widodo mencabut subsidi bahan bakar minyak pada 2015, meskipun tak terlalu signifikan. Pada akhir tahun lalu, defisit neraca berjalan sebesar 2 persen dari produk domestik bruto.
Kendati Bank Dunia menyatakan defisit neraca transaksi berjalan aman jika masih di bawah 3 persen PDB, kenaikannya tetap mengkhawatirkan. Hal itu tecermin dalam pelemahan rupiah. Masalah itu bisa makin gawat karena dalam dua tahun ke depan Indonesia akan memasuki tahun politik. Inilah tugas berat gubernur baru Bank Indonesia.
Pada Juli, ada 171 daerah yang menyelenggarakan pemilihan secara serentak dan satu bulan kemudian pengumuman calon presiden yang akan berlaga dalam pemilihan 2019. Pada tahun politik ini, kebijakan pemerintah tentu menahan laju inflasi agar harga-harga tak naik dan pencitraan berjalan mulus. Kebijakan paling gampang adalah menambah subsidi bahan bakar minyak, seperti janji Presiden Jokowi hingga 2019, di tengah harga minyak dunia yang terus terkerek.
Akibatnya adalah defisit neraca transaksi berjalan dipastikan akan makin naik karena dipakai buat membiayai konsumsi. Di pihak lain, pembiayaan infrastruktur yang menjanjikan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di masa mendatang banyak yang mangkrak dan terganggu akibat salah kaprah permodalannya.
Rupiah, karena itu, akan kian terengah-engah dan menjadi tantangan terberat Perry Warjiyo, calon tunggal pengganti Agus Martowardojo. Perry, pejabat karier paling senior Bank Indonesia yang punya pengalaman di Dana Moneter Internasional (IMF), harus lebih luwes dalam mengkomunikasikan kebijakan moneter untuk mengimbangi kebijakan makroekonomi di bawah Jokowi pada tahun politik ini.
---
Berita terkait
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi
4 hari lalu
Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.
Baca Selengkapnya26 hari lalu
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik
33 hari lalu
Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.
Baca SelengkapnyaPenjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City
12 Februari 2024
Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.
Baca SelengkapnyaUrgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"
12 Februari 2024
Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.
Baca SelengkapnyaPT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta
6 Februari 2024
PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.
Baca SelengkapnyaBagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina
5 Februari 2024
Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.
Baca SelengkapnyaBamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai
22 Januari 2024
Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.
Baca SelengkapnyaPrabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia
15 Januari 2024
Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.
Baca SelengkapnyaMembatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan
15 Januari 2024
Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.
Baca Selengkapnya