Masifnya penyelundupan sabu melalui jalur laut beberapa bulan terakhir sudah seharusnya membuat alarm tanda bahaya kita menyala. Sistem patroli maritim perlu diperbaiki agar gelombang pengiriman narkotik ini bisa ditangkal. Gerak cepat untuk mencegah suplai narkotik masuk ke Indonesia penting dilakukan agar kita tidak terus-menerus menjadi pasar utama peredarannya di kawasan Asia.
Keberhasilan Kepolisian Republik Indonesia bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menangkap dua kapal nelayan berbendera Taiwan yang menyelundupkan narkotik, sebulan terakhir, patut diacungi jempol. Dua operasi penangkapan yang hanya berselang dua pekan itu berhasil menggagalkan pengiriman sabu dalam jumlah tak sedikit: 2,6 ton. Bayangkan kerusakan yang ditimbulkan jika narkotik sebanyak itu lolos beredar di antara warga masyarakat kita.
Sayangnya, dua penangkapan itu bagaikan puncak gunung es semata. Sinyalemen Kepala Badan Narkotika Nasional yang diganti pekan lalu, Komisaris Jenderal Budi Waseso, sungguh mengkhawatirkan. Menurut dia, operasi penyelundupan yang selama ini terungkap hanyalah 20 persen dari total pengiriman narkotik ke Indonesia. Dengan kata lain, aparat kita kewalahan menghalau rute baru penyelundupan bubuk setan ini.
Untuk itu, pemerintah perlu segera meningkatkan kapasitas BNN, Polri, Bea-Cukai, dan TNI Angkatan Laut dalam memantau perairan negeri ini dan mendeteksi upaya-upaya penyelundupan. Jika tidak, Indonesia bakal terus menjadi destinasi favorit sindikat obat terlarang internasional. Dengan garis pantai sepanjang 99 ribu kilometer dan ratusan pelabuhan laut yang tersebar di berbagai pulau, Indonesia adalah sasaran empuk penyelundupan dari semua penjuru mata angin.
Di sisi lain, harus diakui, permintaan narkotik di Indonesia belakangan kian masif. Menurut data BNN, jumlah pengguna dan pencandu narkotik kini mendekati 6 juta orang, tertinggi di Asia. Mereka diperkirakan membutuhkan 200-250 ton narkotik setahun. Namun fakta ini seyogianya tak membuat pemerintah Indonesia kalap dan mengambil tindakan ekstrem seperti yang dilakukan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Sebaliknya, Indonesia perlu menunjukkan bagaimana seharusnya “perang atas narkotik” dilakukan. Selain pemberantasan penyelundupan yang tak mengenal kompromi, program rehabilitasi para pencandu harus ditingkatkan. Mereka yang sudah sembuh dari ketergantungan pada narkotik bisa menjadi duta kampanye gerakan antinarkotik yang efektif. Upaya terpadu semacam ini jauh lebih mangkus ketimbang operasi tembak mati pengedar narkotik di jalanan, yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia.
Menjaga laut kita dari serbuan tak kurang dari 72 jaringan internasional yang memasok narkotik ke Indonesia jelas bukan pekerjaan gampang. Apalagi sumber pasokan narkotik ke negeri ini berasal dari Cina hingga Amerika. Presiden Joko Widodo harus memberikan instruksi langsung agar penanganan masalah ini mendapat dukungan anggaran yang seharusnya.
Selain itu, sinergi antar-penegak hukum dari berbagai negara perlu digalakkan. Penanganan untuk kejahatan transnasional semacam ini memang harus bersifat lintas negara pula. Kerja sama tukar-menukar informasi intelijen sampai operasi bersama di lapangan harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan intensitasnya.
Segala cara harus dilakukan untuk membentengi Indonesia. Jangan biarkan komplotan penyelundup narkotik menjadi perompak-perompak baru di laut kita.
---
Berita terkait
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi
3 hari lalu
Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.
Baca Selengkapnya26 hari lalu
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik
32 hari lalu
Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.
Baca SelengkapnyaPenjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City
12 Februari 2024
Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.
Baca SelengkapnyaUrgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"
12 Februari 2024
Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.
Baca SelengkapnyaPT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta
6 Februari 2024
PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.
Baca SelengkapnyaBagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina
5 Februari 2024
Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.
Baca SelengkapnyaBamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai
22 Januari 2024
Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.
Baca SelengkapnyaPrabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia
15 Januari 2024
Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.
Baca SelengkapnyaMembatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan
15 Januari 2024
Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.
Baca Selengkapnya