Batalkan Revisi Undang-Undang MD3

Penulis

Jumat, 23 Februari 2018 06:35 WIB

Ketua MK Hamdan Zoelva, memutus sidang pembacaan putusan permohonan terhadap uji materi UU MD3, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 29 September 2014. MK putuskan menolak permohonan uji materi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.TEMPO/Imam Sukamto

Sungguh disayangkan Presiden Joko Widodo masih saja bersikap diam terhadap revisi Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Mendiamkan revisi UU MD3, tanpa ia tandatangani, tak akan membatalkan beleid itu. Sebab, dengan ataupun tanpa stempel Presiden, rancangan itu bakal sah menjadi undang-undang setelah 30 hari disetujui DPR.


Sejak awal, pemerintah seharusnya menolak rancangan yang menyimpang dari konstitusi itu. Dengan RUU MD3 itu, Dewan menjelma menjadi lembaga superbody. Mereka membuat aturan baru yang menyebabkan anggotanya kebal hukum. Bahkan mereka juga masuk ke ranah penegakan hukum dengan wewenang memanggil paksa.


Revisi yang disahkan dalam rapat paripurna Senin pekan lalu itu pun memicu protes. Banyak pasal yang menjadikan DPR lembaga adikuasa. Dalam Pasal 73, misalnya, DPR dibolehkan memanggil paksa setiap orang dengan bantuan aparat kepolisian. Perubahan juga dilakukan terhadap Pasal 245, yang membuat anggota DPR kebal hukum karena penyidikan terhadap mereka harus melalui izin tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).


Pasal 122 huruf (k) juga tak kalah busuk karena menambahkan tugas MKD mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Rancangan itu juga memuat klausul bagi-bagi kursi dengan memberikan satu posisi Wakil Ketua DPR kepada partai pemenang Pemilu 2014. Itu sebabnya, sejumlah kalangan menolak dan bersiap melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.


Jika ingin menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat, pemerintah semestinya menolak pasal-pasal itu saat pembahasan RUU dengan DPR. Yang terjadi malah sebaliknya, pembahasan materi revisi Undang-Undang MD3 antara Menteri Hukum Yasonna Laoly dan Komisi III DPR terlihat adem ayem.

Advertising
Advertising


Aneh jika Presiden tidak mendapat laporan tentang pembahasan RUU ini. Lebih menyedihkan lagi jika benar tuduhan sebagian kalangan bahwa telah terjadi keputusan transaksional dalam pembahasan ini, yakni pasal-pasal kontroversial ditukar dengan jatah kursi Wakil Ketua DPR bagi PDI Perjuangan.


Lahirnya undang-undang yang merusak sistem ketatanegaraan itu pernah terjadi di era pemerintahan Presien Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu DPR menyetujui RUU Pilkada yang isinya membawa Indonesia mundur ke masa Orde Baru, yaitu kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung, melainkan oleh DPRD. Setelah dihujani kritik, Presiden Yudhoyono akhirnya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang menganulir diundangkannya UU Pilkada itu.
Jokowi seharusnya bisa melakukan cara yang sama dengan mengeluarkan Perpu tentang UU MD3. Menyetujui revisi UU MD3 hanya akan menghancurkan demokrasi kita.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

15 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya