Dimensi Hukum Pelecehan Seksual di Rumah Sakit

Penulis

M. Nasser

Rabu, 21 Februari 2018 06:35 WIB

ilustrasi pelecehan seksual (pixabay.com)

Beredarnya rekaman video tentang pelecehan seksual oleh seorang perawat terhadap pasien di sebuah rumah sakit di Surabaya telah menyentak kita semua. Ulasan ini ingin membahas sisi lain dari video tersebut. Pertama, video sepanjang lebih dari 15 menit itu menggambarkan dialog pasien dengan perawat yang disaksikan wakil rumah sakit dan perawat mengatakan tidak melakukan sesuatu seperti yang dituduhkan. Tapi pihak-pihak yang ada dalam usaha mediasi ini ujung-ujungnya membujuk agar perawat mengakui saja khilaf dan minta maaf sehingga semua masalah selesai tanpa ada tuntutan hukum. Hasil dialog sudah dapat diterka: sang perawat pun dengan mudah mengaku tanpa sadar adanya perekaman.


Kedua, yang diunggah hanya potongan 52 detik, yang berisi permohonan maaf dan ucapan khilaf sang perawat. Inilah bagian yang tidak adil dan mengusik rasa keadilan. Dari dua hal ini saja sudah dapat ditelusuri adanya maksud perbuatan kurang terpuji pembuat video tersebut.


Ketiga, dalam kepustakaan dari berbagai negara, sangat banyak dilaporkan terjadinya fantasi seksual pasca-penggunaan obat bius tertentu yang sifatnya individual. Laporan-laporan dalam jurnal terkemuka telah memperingatkan hal ini, terutama menyangkut kegagalan dalam proses hukum ketika hal-hal seperti ini diinvestigasi.


Ada kasus menarik, seperti dipaparkan Diana Brahams, "Medicine and the Law: Benzodiazepines and Sexual Fantasies" dalam jurnal The Lancet volume 335 tahun 1990 halaman 157, tentang seorang perawat laki-laki yang dilaporkan karena dianggap memegang payudara pasien pasca-operasi. Dari hasil investigasi diketahui bahwa ada fantasi seksual akibat penggunaan obat pramedis benzodiazepin.


Tentang halusinasi akibat penggunaan obat bius ini telah diteliti oleh Hunter dan kawan-kawan sejak 1988, disusul beberapa laporan kasus dari berbagai negara sampai 2013 yang muncul di berbagai jurnal terkemuka, seperti Anesthesiology, tentang penggunaan obat anestesi golongan propofol. Hasilnya sangat mencengangkan. Halusinasi terjadi pada 7 persen dari semua pasien yang menggunakan obat bius tersebut. Hal yang hampir sama juga dilaporkan oleh Journal of the American Dental Association, yakni kasus pasien yang merasa mengalami pelecehan seksual oleh dokter giginya. Setelah ditelusuri secara cermat, hal ini sangat terkait dengan obat anestesi atau penghilang rasa yang digunakan untuk pasien sebelum operasi gigi.

Advertising
Advertising


Laporan dalam majalah ilmiah, baik dari Amerika Serikat maupun Eropa, itu mencatat bahwa halusinasi terbanyak adalah pasien yang merasa payudaranya diraba-raba oleh petugas kesehatan. Sumber ilmiah lain juga mencatat bahwa halusinasi seksual sering ditemukan pada pasien pasca-operasi yang menggunakan obat bius jenis midazolam sebagai turunan benzodiazepin yang dikombinasi dengan propofol. Kombinasi obat ini-bersama fentanyl-sebenarnya akan menyebabkan ambang stimulus yang biasa, seperti pemeriksaan dengan stetoskop, gesekan instrumen, atau saat memasang atau melepaskan lead elektrokardiogram, sudah cukup untuk menjadi trigger halusinasi. Dalam hal seperti inilah tenaga kesehatan seharusnya tidak mudah untuk dituduh melakukan pelecehan seksual. Secara umum, halusinasi seksual ini sangat sukar dibuktikan, apalagi kalau tidak ada saksi yang melihat.


Keempat, pada kasus rumah sakit di Surabaya, sebaiknya pengakuan perawat tidak digunakan sebagai alat bukti dalam penetapan tersangka karena sangat lemah. Apalagi kalau ada fakta hukum bahwa hal itu dilakukan dengan bujuk rayu dan tekanan dari penyidik. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27 Tahun 2014 menyatakan, penetapan tersangka harus dengan dua alat bukti permulaan yang cukup. Lima perkara ini terkait dengan pidana lain, yakni pencemaran nama melalui informasi elektronik, yang dapat dikembangkan sebagai delik aduan yang serius.


Keenam, apakah pengunggahan video tersebut melanggar hukum? Dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2014 disebutkan bahwa pasien memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dan nama baik tenaga kesehatan. Mengunggah suatu kejadian di rumah sakit, apalagi secara melawan hukum, bukankah dapat mengganggu ketertiban masyarakat?


Ketujuh, polisi harus bertindak hati-hati karena dapat mengganggu kenyamanan bekerja tenaga kesehatan lain, seperti dokter bedah, yang sehari-hari bersentuhan dengan pasien yang menerima tindakan pembiusan. Polisi juga harus lebih hati-hati terhadap orang-orang yang sangat pandai membuat alibi, memanfaatkan situasi, dan menggunakan media sosial untuk mencari keuntungan tertentu. Pilar pelayanan dan perlindungan warga negara harus benar-benar dipegang sama kuat dengan pilar penegakan hukum. Inilah tantangan bagi Polri.

M. Nasser
Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya