Mempertanyakan Dua Langkah Mendagri

Penulis

Kamis, 8 Februari 2018 06:40 WIB

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo bersama Ketua KPU Arief Budiman, Dirjen Otonomi Daerah Soni Sumarsono, Dirjen Politik dan Pemerintahan Kemendagri Soedarmo dan Ketua Bawaslu Abhan mengikuti rapat kerja (raker) dengan komisi II DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 16 Januari 2018. Raker tersebut membahas verifikasi partai politik seusai keputusan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. TEMPO/Ilham Fikri

Dalam waktu berdekatan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membuat dua langkah yang memicu perdebatan publik. Pertama, mengusulkan dua perwira aktif Kepolisian RI menjadi pelaksana tugas gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Kedua, mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian.


Peraturan Mendagri itu menggantikan aturan lama tahun 2011 tentang pedoman penerbitan rekomendasi penelitian. Peraturan baru yang keluar pada 11 Januari lalu itu, antara lain, memuat ketentuan baru tentang "potensi dampak negatif penelitian". Hal tersebut bisa menjadi salah satu alasan pemerintah menolak menerbitkan izin penelitian.


Menteri Tjahjo berdalih peraturan itu masih berupa draf dan menyayangkan bocornya rancangan tersebut. Namun Kementerian Dalam Negeri sadar, seperti dikatakan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Soedarmo, ketentuan itu memang tak menjelaskan ukuran "dampak negatif" hasil penelitian. Kementerian mengaku belum meminta masukan publik.


Syukurlah, karena adanya kritik dan desakan publik, Peraturan Mendagri Nomor 3 Tahun 2018 itu akhirnya dibatalkan. Langkah itu patut didukung sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan yang kurang mengakomodasi masukan publik dan bisa membahayakan dunia penelitian di negeri ini tersebut. Menteri Tjahjo harus belajar dari kasus ini bahwa setiap regulasi yang dikeluarkan seharusnya sudah melalui proses yang matang dan dikaji secara mendalam, termasuk mendengarkan masukan publik.


Adapun ihwal pengajuan petinggi kepolisian menjadi pelaksana tugas kepala daerah di Sumatera Utara dan Jawa Barat, Tjahjo beralasan demi keamanan selama penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dua perwira tinggi itu adalah Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal M. Iriawan serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin.

Advertising
Advertising


Langkah Tjahjo itu jelas menabrak sejumlah aturan. Salah satunya adalah Pasal 157 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal itu mewajibkan setiap anggota aktif Polri mengundurkan diri dari kedinasan sebelum menduduki jabatan pimpinan tinggi setingkat madya dalam instansi pemerintah. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai independensi dua calon pelaksana tugas gubernur itu karena ada kandidat kepala daerah yang berlatar belakang Polri.


Berbeda dengan peraturan Mendagri tentang izin riset yang sudah dibatalkan, perihal penunjukan pelaksana tugas gubernur itu akhirnya berada di tangan presiden. Menteri Tjahjo seharusnya sadar, mengusulkan perwira polisi aktif menjadi pelaksana tugas gubernur tak hanya berpotensi melanggar undang-undang, tapi juga bisa disebut sebagai upaya menggoda polisi agar masuk ke ranah politik. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang mendorong aparat keamanan agar profesional. Menteri Tjahjo seharusnya tak membebani presiden dengan usul seperti itu.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

27 menit lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya