Setelah Alexis Bersalin rupa

Penulis

Selasa, 30 Januari 2018 16:00 WIB

Suasana ruang tunggu Hotel Alexis, Kampung Bandan Jakarta Utara, 30 Oktober 2017. TEMPO/Chitra Paramaesti

PROSTITUSI, kata orang, merupakan profesi tertua yang hampir mustahil dihentikan. Menyatu dengan peredaran narkotik, pelacuran menjadi kegiatan ilegal yang lekat dengan kehidupan malam di Jakarta dan sejumlah kota besar lain.


Di Ibu Kota, sebagai contoh, setelah Gubernur Anies Baswedan menolak perpanjangan izin usaha hotel dan griya spa Alexisyang dituduh menjadi pusat pelacuran kelas atas Jakartapada Oktober tahun lalu, aktivitas esek-esek itu berlangsung seperti sediakala. Izin klub dan karaoke tak dipersoalkan pemerintah provinsi. Lewat usaha karaoke itulah diduga prostitusi tetap dipertahankan.


Alih-alih gulung tikar, Alexis kini mentereng dengan nama 4Play untuk bar yang merupakan salah satu fasilitas di sana. Di Jakarta, Alexis bukan satu-satunya tempat yang menyediakan jasa pelacuran. Hiburan serupa bertebaran di seluruh wilayah Jakarta dan hingga kini merdeka beroperasi seperti biasa.


Ironi terbesar dari penutupan Alexis adalah pemerintah DKI sedikit-banyak bergantung pada sektor ini. Pada 2016, pemerintah Jakarta meraup Rp 769,5 miliar uang pajak dari tempat hiburan semacam itu. Angka ini hanya berada di bawah perolehan pemerintah Ibu Kota dari pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan. Sebagai contoh, Alexis menyetor Rp 2,4-3 miliar per bulan. Pajak ini dikutip langsung, antara lain, dari kupon-kupon yang dijual di hotel itu untuk transaksi jasa pelacuran.


Prostitusi memang bisnis luar biasa. Di Jakarta, usaha hiburan malam dikuasai tiga pemain besar. Mereka memiliki jaringan hotel di berbagai titik, yang menyediakan layanan lengkap, seperti klub, karaoke, spa, dan penginapan. Investigasi majalah ini menemukan pelacuran dan transaksi narkotik terjadi di tempat-tempat anggota jaringan itu. Penelitian Badan Narkotika Nasional memperkuat temuan itu: 36 dari 81 tempat hiburan di Jakarta nyata-nyata memperdagangkan obat-obatan terlarang.

Advertising
Advertising


Secara formal, tempat-tempat itu sebenarnya tak berbeda dengan hotel lain yang beroperasi di bawah Peraturan Daerah tentang Kepariwisataan. Aturan itu, antara lain, mewajibkan pemilik usaha "mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum". Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum juga melarang setiap orang atau badan usaha "menyediakan dan/atau menggunakan bangunan atau rumah untuk berbuat asusila". Tempat hiburan yang melanggar, menurut aturan-aturan itu, akan ditutup jika tidak mengindahkan peringatan pertama.


Toh, pasar selalu muncul selama masih ada permintaan. Apalagi, di kota megapolitan seperti Jakarta, keberadaan kehidupan malam seperti tak terelakkan. Di tengah permintaan yang tak pernah surut, pelbagai aturan itu tak berarti apa-apa jika tidak ada upaya untuk menegakkannya. Alih-alih menyusut, bisnis semacam ini terus berkembang serta beroperasi dalam wajah hotel dan penunjangnya.


Bisnis ini semakin gelap karena juga diwarnai praktik perdagangan manusia. Tim investigasi Tempo menemukan perempuan-perempuan yang terjerat utang, dikarantinakan dengan penjagaan ketat di luar jam kerja, dan dipekerjakan di beberapa tempat hiburan. Mereka bekerja melewati agensi yang bekerja sama dengan tempat-tempat hiburan. Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, yang dialami para wanita itu masuk kategori human trafficking.


Gubernur Anies semestinya bekerja dalam ranah penegakan berbagai aturan itu. Sayangnya, ia terjebak pada sisi politik yang membuat "penutupan Hotel Alexis" menjadi semacam pertunjukan belaka. Bisa jadi ia ingin membuktikan pernyataan spontannya pada saat debat calon gubernur tahun lalu. Setelah menyindir gubernur inkumben dengan pernyataan "kalau soal penggusuran (pemerintah daerah) tegas, tapi kalau soal prostitusi lemah", ia menyatakan akan menutup Hotel Alexis jika terpilih. Pernyataan ini ia wujudkan dengan menolak perpanjangan izin hotel itu.


Politisasi pada isu prostitusi membuat langkah yang diambil pemerintah Anies tidak substansial. Gubernur hanya berfokus pada Alexis, yang ternyata dengan lihai berubah nama. Ia melupakan jaringan ilegal yang berkaitan dengan dunia prostitusi, termasuk praktik perdagangan manusia. Pernyataan-pernyataan publik Anies tentang penutupan Alexis juga lebih menonjolkan usaha "penegakan moral", bukan kebijakan publik yang bisa dipertanggungjawabkan.


Pemerintah DKI bekerja sama dengan kepolisian semestinya memusatkan perhatian pada isu perdagangan manusia dan narkotik. Jelas bukan hal mudah, karena kejahatan ini bisa jadi melibatkan jaringan kuat. Sebagai indikasi, Tempo melihat penjagaan ketat pada karantina pekerja-pekerja seksual, yang di antaranya terjerat utang. Ketegasan dan keberanian gubernur baru justru diuji di sini.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya