Catatan untuk Jamaah Tabligh

Penulis

Ibnu Burdah

Jumat, 26 Januari 2018 06:35 WIB

Suasana setelah Tabligh Akbar bertemakan Hijrahku Bahagiaku di Masjid Al-Azhar, Jakarta, 21 September 2017. Setelah Tabligh Akbar para jamaah yang hadir sholat dzuhur bersama dengan KH. Bachtiar Natsir dan Arie Untung. TEMPO/Ilham Fikri.

Tanpa gembar-gembor, Jamaah Tabligh tengah menggelar pertemuan tahunan bishwa ijtema (pertemuan internasional) di Turaq, tak jauh dari Dhaka, Bangladesh. Acara ini berlangsung pada 11-14 dan 19-21 Januari 2018, yang diikuti jutaan anggota jemaah dari 150-an negara. Isinya adalah kegiatan-kegiatan ibadah, seperti ceramah agama, berzikir, dan semacamnya. Kegiatan ini sepenuhnya steril dari pembicaraan politik dan khilafiyah.


Di tengah aktivisme kelompok-kelompok Islam yang bergelora di Tanah Air kini, Jamaah Tabligh adalah fenomena tersendiri. Kelompok ini berkembang luas meski bukan kelompok yang terlibat aktif dalam isu-isu sosial dan politik. Mereka bahkan bercirikan sebagai kelompok "apolitis".


Jamaah Tabligh saat ini dipandang sebagai kelompok dakwah Islam terbesar di dunia. Berawal dari inisiatif Syekh Maulana Ilyas al-Kandahlawi di India pada 1925 dan menyebar di negara-negara Asia Selatan, mereka kini dipandang sebagai kelompok dakwah terdepan dan paling banyak pengikutnya di dunia. Di Indonesia, jemaah ini juga mengalami perkembangan pesat.


Kehadiran mereka di ruang publik ditandai dengan pakaian yang khas: jubah panjang, celana cingkrang, dan berjenggot. Tampilannya mirip anggota Salafi-Wahabi. Bedanya, mereka biasa mengenakan serban dan membawa tasbih, sedangkan kaum Salafi-Wahabi tidak mengenakannya bahkan menganggap keduanya sebagai bidah. Perempuan di kelompok ini biasanya mengenakan pakaian dan jilbab panjang hitam serta bercadar.


Keanggotaan kelompok tersebut meliputi hampir semua negara muslim dari Maroko hingga negara-negara di Asia Tenggara, kendati keanggotaan itu sepertinya tak tercatat secara rapi. Sepengetahuan saya, mereka juga tak memiliki kartu anggota. Sifat keanggotaannya cair. Mereka anti-politik, anti-khilafiyah, dan tak mau menyalahkan kelompok Islam lain, tapi merangkul semua golongan. Mereka juga tak menegaskan konsep jihad dan nahi mungkar. Hal-hal inilah yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan penting kelompok tersebut sehingga cepat menyebar dan mudah diterima masyarakat muslim, termasuk di Indonesia.

Advertising
Advertising


Khusus di Indonesia, perkembangan kelompok ini didukung oleh ajaran-ajaran mereka yang sangat dekat dengan amaliyah kebanyakan umat Islam Indonesia, katakanlah Nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama), dari masalah mazhab, tasawuf, dan seterusnya, hingga gaya yang ramah dan bijak dalam pergaulan. Perbedaan dengan Nahdliyin praktis hanya doktrin khuruj (ke luar daerah untuk berdakwah).


Namun, di balik kekuatan jemaah ini, sesungguhnya ada hal-hal yang perlu dicatat. Catatan pertama adalah kurangnya sikap tegas mereka terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras atau musuh-musuh bangsa yang lain. Ini berawal dari sikap mereka yang ingin merangkul semua lapisan umat Islam. Mereka berupaya sama sekali tak mencaci siapa pun, kendati belakangan mereka juga terpaksa membalas caci maki kelompok Salafi (Wahabi) di Tanah Air dan Timur Tengah yang begitu agresif menyerang mereka. Itu sebabnya mereka juga menabukan pembicaraan masalah khilafiyah.


Ini sesungguhnya bisa membahayakan mereka sendiri dan juga umat Islam pada umumnya. Sebab, kelompok kekerasan dan teror itu akan menggunakan segala cara untuk menyusup ke kelompok-kelompok anti-kekerasan sebagaimana banyak terjadi di Pakistan dan Afganistan. Akibatnya, kelompok ini rawan untuk disusupi.


Dalam kontestasi gerakan keislaman, sikap ini bisa berakibat fatal. Mereka mungkin jarang menjadi sasaran kelompok teror karena memang tak memusuhinya. Namun sikap itu membuat mereka dianggap menoleransi gerakan radikal.


Catatan lain adalah tentang komitmen keindonesiaan. Sepengetahuan saya, kelompok ini jarang sekali menyebut pentingnya komitmen keindonesiaan. Tujuan terpenting kelompok ini adalah membangun pribadi dan komunitas muslim "global" yang saleh. Mereka memiliki komitmen kuat sebagai bagian dari jemaah muslim global, tapi hampir tak menyebut mengenai keharusan muslim membela keindonesiaan. Padahal ini adalah hal yang sangat krusial dalam konteks kehidupan bersama di bingkai negara dan bangsa saat ini.


Sejarah umat Islam di Nusantara adalah sejarah keislaman dan kebangsaan sekaligus. Keduanya tak terpisahkan. Catatan ini tak hanya berlaku bagi Jamaah Tabligh di Indonesia. Di negara-negara lain, mereka ditagih untuk menegaskan komitmen kebangsaan mereka.


Di tengah kontestasi hebat antara kelompok politik Islam yang memiliki komitmen kebangsaan dan yang berorientasi trans-nasional, posisi jemaah ini tentu kurang produktif bagi penguatan nasionalisme. Ini yang sedikit membedakan mereka dari kelompok-kelompok keislaman Tanah Air yang memang sejak awal telah menyertai perjuangan kemerdekaan bangsa ini dari penjajahan.

Ibnu Burdah
Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya