Pemilu Baru Seteru Lama

Penulis

Senin, 15 Januari 2018 17:00 WIB

Sigi Sebut Prabowo Pesaing Terkuat Jokowi

JIKA tak ada gempa politik signifikan, hampir bisa dipastikan pemilihan presiden 2019 bakal jadi pengulangan saja dari pertarungan Joko Widodo versus Prabowo Subianto empat tahun lalu. Ini jelas kemunduran buat demokrasi di negeri ini.


Dengan hanya dua calon presiden-apalagi sama-sama wajah lama-pilihan publik bakal sempit. Tanpa kandidat alternatif, pertarungan gagasan dan program demi kesejahteraan rakyat terancam jadi kontestasi personal. Kampanye bisa-bisa terjebak jadi adu dukung berbasis politik identitas semata. Kalau sudah demikian, polarisasi tajam di tingkat akar rumput jadi rawan memantik konflik.
Di sisi lain, harus diakui bahwa saat ini memang tak ada penantang yang kuat bagi Jokowi dalam memperebutkan kursi RI-1 selain Prabowo. Dalam banyak survei politik, popularitas dan elektabilitas Prabowo masih jauh di atas sederet bakal calon penantang Jokowi yang lain.


Secara konstitusi, tidak ada yang salah dari pencalonan kembali Prabowo. Meski kalah dalam konvensi calon presiden yang diadakan Partai Golkar pada 2004-dan kembali gagal masuk Istana lima tahun kemudian ketika menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri-tidak ada alasan untuk menghalangi pencalonan Ketua Umum Gerindra ini. Fakta bahwa dia kalah tipis dari Jokowi pada pemilihan 2014 juga bukan berarti dia tak boleh mencoba menjadi calon presiden untuk keempat kalinya.


Masalahnya bukan pada Prabowo, melainkan pada aturan presidential threshold di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Aturan itulah yang membatasi jumlah calon presiden berdasarkan besar-kecilnya dukungan partai politik pengusungnya. Pasal 222 menegaskan hanya partai politik atau gabungan partai politik dengan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara nasional yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.


Sulit memahami logika demokrasi di balik aturan itu. Pendukung pembatasan jumlah kandidat berdalih, stabilitas sistem presidensial hanya bisa dicapai jika presiden terpilih didukung fraksi dengan perolehan suara yang cukup signifikan di parlemen. Namun bahaya munculnya pemerintahan yang otoriter akibat konsentrasi kekuasaan eksekutif dan legislatif di koalisi partai yang sama tak disinggung sama sekali. Mereka tampaknya lupa bahwa kemungkinan lain bisa terjadi: pemilu presiden dan pemilu legislatif yang dijalankan serentak juga berpeluang melahirkan presiden yang tidak mendapat dukungan DPR. Dengan kata lain, argumen stabilitas sistem presidensial yang mereka sampaikan sesungguhnya tak kukuh.

Advertising
Advertising


Ketika Undang-Undang Pemilihan Umum dibahas di Senayan, partai-partai pendukung pemerintah adalah penyokong utama pasal presidential threshold ini. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas terbatasnya pilihan rakyat dalam pemilihan presiden 2019. Mereka mengabaikan protes empat partai, yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, yang sampai harus walk out dari sidang paripurna.


Putusan Mahkamah Konstitusi pekan lalu yang menguatkan aturan presidential threshold ini tak kalah mengecewakan. Entah bagaimana tujuh dari sembilan hakim Mahkamah bisa menilai aturan itu tak bertentangan dengan Pasal 6-A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."


Di atas kertas, aturan presidential threshold memang masih memungkinkan setidaknya ada tiga calon presiden yang disokong partai politik. Namun konstelasi saat ini sudah terbelah menjadi dua kubu: pendukung dan penentang pemerintah. Hampir tak ada peluang untuk kandidat alternatif selain inkumben dan penantangnya.


Prabowo sendiri tampaknya sudah bersiap. Jauh-jauh hari, dia sudah mendekatkan partainya dengan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional untuk bertarung bersama dalam pemilihan kepala daerah serentak. Aliansi inilah yang sukses memenangkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada awal 2017. Kita masih ingat: kompetisi politik ketika itu diwarnai upaya memanfaatkan isu agama sebagai bahan kampanye.


Jika pola serupa menyebar ke daerah lain, hampir pasti, temperatur politik Indonesia bakal mendekati titik didih. Partisipasi publik terancam menurun ketika politik terasa sebagai ajang perebutan kekuasaan belaka. Sungguh ironis: titik balik ini justru terjadi pada momentum peringatan 20 tahun reformasi, yang seharusnya menandai puncak konsolidasi demokrasi kita.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya