Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal adanya pencucian uang senilai Rp 747 triliun seharusnya menyengat kita. Ini merupakan alarm bahwa korupsi dengan segala turunannya-komisi, rasuah, gratifikasi, uang semir--tetap tumbuh dan modusnya semakin canggih.
Komisi Pemberantasan Korupsi, polisi, dan kejaksaan semestinya segera bergerak mengusut temuan ini. Jangan biarkan data yang diungkap oleh PPATK itu hanya menjadi arsip yang tersimpan di gudang, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Pada 2010, PPATK juga pernah mengungkap adanya transaksi mencurigakan di kalangan pejabat. Kala itu transaksi terjadi di antara sejumlah petinggi Kepolisian Republik Indonesia yang sedang disorot oleh khalayak karena kasus rekening gendut. Koran Tempo dan majalah Tempo mengungkapnya. Publik pun geger. Namun informasi itu akhirnya tidak ditindaklanjuti ke proses penyidikan, apalagi pengadilan. Masyarakat sangat kecewa atas kejadian tersebut. Hal itu semestinya tak terulang saat ini
Kali ini transaksi mencurigakan yang diungkap PPATK jauh lebih besar. Nilainya ratusan triliun rupiah dari rekening-rekening milik 19 orang. Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin pada Rabu lalu mengungkapkan hal tersebut. Menurut Kiagus, temuan ini diperoleh setelah PPATK mendapat permintaan dari aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi, narkotik, perjudian online, kepabeanan, perambahan hutan, dan perpajakan. Menurut PPATK, latar belakang pemilik uang itu beragam, dari pengusaha sampai gubernur.
Sebagian rekeningnya diidentifikasi milik kerabat dan kolega yang menjadi penampung dana hasil tindak pidana. Rekening-rekening itu juga ditengarai dipakai menyuap aparat penegak hukum serta panitia pengadaan barang dan jasa pemerintah. Transaksi mencurigakan itu terendus di Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Aparat penegak hukum semestinya segera bertindak. Fenomena baru ini menjadi bukti tambahan soal semakin maraknya korupsi di daerah. Bukti-bukti menguatnya korupsi di daerah semakin terlihat. Dalam setahun terakhir KPK menangkap delapan kepala daerah dengan jerat pasal korupsi. Oktober lalu, komisi antirasuah menangkap Bupati Nganjuk Taufiqurrahman. Sebulan sebelumnya, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dicokok.
Data dari PPATK ini semestinya menjadi amunisi bagi lembaga seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk segera menangkap para garong uang negara. Tak ada kejahatan yang sempurna tersembunyi. Selalu ada celah untuk mengungkapnya. Apalagi aliran uangnya sudah terang-benderang. Persoalannya, seberapa serius aparat penegak hukum membongkar kasus ini? Jika kasus ini dibiarkan, temuan PPATK tersebut akan sia-sia. Korupsi pun kian merajalela menggerogoti negeri ini.