Bergerak

Sabtu, 30 Desember 2017 20:17 WIB

Galileo Galilei. Usi.ch

Eppur si move. Mungkin 400 tahun yang lalu, seraya menatap langit dan mengentakkan kaki ke bumi, Galileo mengucapkan kata-kata itu. Tapi mungkin itu hanya cerita. Apa pun kejadian yang sebenarnya, kalimat itu hendak meneguhkan apa yang baginya merupakan "fakta", bahwa bumi bergerak, mengelilingi matahari-tak peduli ajaran agama yang menetapkan sebaliknya.


Agama menetapkan X, tapi ilmu menetapkan Y, dan bumi bergerak, juga secara kiasan: pengetahuan tentang alam berubah, teknologi kian canggih, manusia semakin tak bisa berpegang kepada teori, doktrin, dan keyakinan yang lama, yang ingin langgeng. Apa yang disebut H.G. Wells-pengarang Inggris yang paling antusias dengan perkembangan sains di masa depan-sebagai "kekuatan masa lalu yang membutakan pikiran kita", the blinding power of the past upon our minds, sedang disingkirkan.


Masa lalu tak mengenal adanya delapan benua di bawah lautan, belum ada penyuntingan gen dalam embrio manusia, belum tahu ada sebuah planet-kini dinamai Proxima-yang mungkin bisa dihuni (dan siapa tahu berpenghuni). Juga belum ada penjelajahan jauh ke dalam tubuh, Human Genome Project (HGP), untuk mengetahui, menentukan, dan menyimpan semua isi genetik dalam kromosom organisme manusia, genome. HGP punya hasil langsung yang praktis, buat ilmu kesehatan dan forensik. Juga hasil tak langsung: ia bertolak dari (dan kemudian meneguhkan) asumsi "materialisme ilmiah" bahwa manusia adalah sebuah proses zat, sebuah bangunan materi, dan bahwa misteri yang dikaitkan dengan sifat "spiritual" anak cucu Adam tak pernah ada.


Ilmu tampaknya telah merasa sanggup memberi jawab semua hal dalam hidup. Buku Steven Hawking The Theory of Everything: The Origin and Fate of the Universe dan film yang dibuat tentang kehidupan jenius yang bertubuh rapuh itu menunjukkan bagaimana kandungan kata-kata Eppur si move berlanjut: sejarah makin menyambut pembangkangan Galileo. "Kualitas yang paling menonjol dari alam semesta ialah bahwa ia telah membiakkan makhluk yang mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan," tulis Hawking.


Dahsyat, memang-kedahsyatan yang di masa lalu diterjemahkan oleh agama dengan metafor "tangan Tuhan" yang bekerja dalam keluasan semesta. Seperti disebutkan Hawking, kita hidup di salah satu dari beberapa ratus ribu galaksi; mereka hanya bisa dilihat dengan teleskop modern. Kita hidup di sebuah galaksi yang ukurannya sekitar seratus ribu tahun cahaya bila diseberangi.

Advertising
Advertising

Matahari kita yang jadi sumber cahaya dan energi yang tak tepermanai sebenarnya hanya "sebuah bintang kuning yang berukuran sedang", di dekat tepi luar dari salah satu lengan spiral galaksi.
Sebuah paradoks muncul di sini. Di satu pihak, manusia dapat merasakan betapa kecil dirinya; ia bukan lagi berada di pusat. Ia bukan lagi yang dalam salah satu puisi filsafat Jawa disebut "tinitah luwih", ciptaan yang unggul. Di lain pihak, ilmu yang berkembang bersama dirinya menjangkau ke mana-mana-dan terutama dalam diri seorang "kosmologis" seperti Stephen Hawking.


Satu dialog dalam film The Theory of Everything:
Jane Hawking: Apa yang disembah para kosmologis?
Stephen Hawking: Satu statemen mathematis yang bisa merangkum, untuk menjelaskan tiap hal di alam semesta.


Bagi ilmuwan semacam Hawking, "agama" bukan yang dibawakan nabi-nabi di masa lampau. Agama itu bernama "kosmologi", "sejenis agama bagi orang-orang cerdas yang atheis". Hawking tak bisa menerima "premis kediktatoran langit". Ia yakin akan adanya "statemen tunggal yang elegan" yang bisa menjawab semua pertanyaan, tanda ia optimistis dan mencerminkan kecenderungan "materialisme ilmiah" yang tak mengenal batas.
Tapi tidakkah di sini pun perlu kesadaran bahwa "statemen mathematis" yang tunggal itu juga bergerak, sebagai kebenaran dalam proses?


Mungkin kosmologi perlu belajar dari sejarah agama-agama.
Lahir dari kesadaran akan kedaifan manusia di hadapan Tuhan, semula agama jauh dari sikap takabur. Tapi kemudian, seperti ilmu, ia menyatakan diri sebagai pemberi keputusan terakhir. Menguasai pelbagai ruang hidup-dari sinetron sampai dengan perguruan tinggi-agama tak lagi menghidupkan rasa gentar dan terpesona kepada yang Maha Misterius. Tak ada lagi yang misterius; semua ada jawabnya. Bersama itu, agama kian meneguhkan keyakinan abad-abad yang lampau: dunia tak bergerak, dunia hanya bisa suci murni bila tak berubah.


Di abad ke-21, makin tak jelas benarkah ada yang suci murni dan langgeng. Inilah zaman ukuran lama kian cepat jebol. Robot, salah satu contohnya. Ia bukan saja kian lebih pintar ketimbang manusia, tapi menonjokkan pertanyaan baru, misalnya: bagaimana hukumnya jika manusia menikahi satu atau lebih robot seks?
Kita belum tahu jawabnya. Yang baru dibahas adalah: hukum menikahi jin....

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

15 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya