Fenomena Vonis Ringan Koruptor

Penulis

Selasa, 26 Desember 2017 13:41 WIB

Walikota Bekasi, Mochtar Muhammad TEMPO/Aditia Noviansyah

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia baru-baru ini merilis hasil penelitian perihal vonis yang dijatuhkan para hakim terhadap para terdakwa koruptor, dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Hasilnya, terjadi inkonsistensi dan disparitas putusan hakim dalam memutus perkara korupsi. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan signifikan pada 587 sampel vonis hakim yang diteliti.

Hasil penelitian yang mencakup putusan hakim sepanjang 2011-2015 ini jelas membuat kita prihatin. Benar hakim memiliki kekuasaan mandiri yang tak bisa diintervensi siapa pun dalam memutuskan perkara. Namun, jika fenomena ini terus terjadi, masyarakat tentu akan bertanya: apa yang terjadi pada lembaga peradilan kita? Para terdakwa koruptor juga bisa tersenyum karena memiliki “yurisprudensi” vonis terhadap para pelaku korupsi yang ternyata bisalah tidak tinggi.

Sejak setidaknya tujuh tahun terakhir kita memang melihat ada sesuatu yang ganjil dalam vonis yang dijatuhkan para hakim terhadap terdakwa koruptor. Keganjilan tersebut terutama pada pengadilan tindak pidana korupsi di luar Jakarta.

Pada 2011 misalnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas terdakwa korupsi bekas Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Masyarakat terkejut atas vonis tersebut. Kekagetan ini kemudian ditambah lagi dengan kejutan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain, Bengkulu dan Semarang yang juga memvonis bebas sejumlah pelaku korupsi. Bahkan pada perkara korupsi bekas wali kota Semarang, Soemarmo Hadi, persidangan kasus ini dipindah dari Semarang ke Jakarta mengingat rekor mengerikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang yang memvonis bebas tujuh terdakwa koruptor dalam usia pengadilan antikorupsi tersebut yang belum dua tahun.

Publik memang kemudian menaruh harapan kepada lembaga peradilan lebih tinggi untuk mengkoreksi vonis yang dinilai jauh dari rasa keadilan tersebut. Jika pun kecewa pada pengadilan tingkat banding, harapan masih ada pada benteng peradilan terakhir, Mahkamah Agung. Secara teori tentu para hakim pada lembaga peradilan lebih tinggi itu memiliki pandangan yang jauh lebih maju, sikap yang lebih adil –dalam melihat kehendak masyarakat- dalam memutus perkara korupsi.

Advertising
Advertising

Tapi, persoalannya, apakah memang harus demikian? Mesti menggantungkan harapan kepada lembaga lebih tinggi atas ketidakadilan, ketidakpuasan vonis terhadap para koruptor? Semestinyalah, pada tataran lembaga peradilan tingkat pertama ini keadilan dan ketegasan menjatuhkan vonis terhadap pelaku tindak pidana koruptor sudah terjadi. Apalagi kenyataanya lembaga peradilan lebih tinggi itu pun kerap tidak menganulir putusan rendah hukuman para terdakwa koruptor tersebut.

Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch juga menunjukkan betapa makin memprihatinkannya vonis atas pelaku korupsi. ICW melakukan penelitian sepanjang Januari-Juni 2016 dan memantau 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah divonis, baik oleh pengadilan negeri, pengadilan banding, hingga Mahkamah Agung. ICW menemukan fakta, ada 46 terdakwa yang divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dari pemantauan, ada sebelas pengadilan Tipikor yang memvonis bebas terdakwa korupsi. Paling banyak Pengadilan Makassar, kemudian Pengadilan Banda Aceh, dan ketiga Jayapura.

Melihat perilaku korupsi yang sudah demikian akut ini, seharusnya para hakim memiliki sikap tegas dan sama dalam memandang tindak pidana yang masuk kategori extra ordinary crime ini. Para hakim yang mengadili kasus korupsi, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, mesti memiliki pandangan sama bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa setengah-setengah. Dan mereka adalah bagian penting pemberantasan itu karena vonis hakim merupakan salah satu unsur untuk membuat jera para koruptor dan pengingat bagi yang lain.

Mappi memberi saran bagus untuk mengatasi “bahaya vonis hakim” terhadap para terdakwa korupsi. Saran tersebut, perlunya adanya pedoman pemidanaan. Pedoman tersebut akan menjadi pegangan para hakim dan diharapkan dengan demikian terjadi pemahaman yang sama atas berapa vonis yang tepat untuk para pelaku koruptor.

Saran tersebut seandainya pun kemudian ditindaklanjuti, misalnya oleh Mahkamah Agung, kita tahu, Mahkamah tak akan tegas menetapkan, dengan angka, misalnya, berapa vonis yang mestinya dijatuhkan untuk para koruptor. Ini karena, selain kembali lagi kepada kredo suci “hakim mandiri, tak bisa diintervensi siapa dan lembaga apa pun,” juga karena ada batas minimal dan maksimal hukuman yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Dan hakim akan bersandar pada “kebebasam hakim” untuk memutuskan berapa tahun vonis akan mereka ketuk sesuai keyakinan mereka.

Seandainya pun keluar pedoman itu, tampaknya pedoman itu lebih banyak meminta para hakim untuk menghukum para koruptor dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Ada pun jika pedoman tidak dibuat oleh Mahkamah, maka satu-satunya yang mestinya memiliki kekuatan hukum untuk mengatur pedoman itu ada di undang-undang –dan itu perlu waktu lama.

Itu sebabnya semua semestinya kembali pada para hakim itu sendiri. Tanpa ada pedoman dari manapun, termasuk dari lembaga peradilan di atasnya, mereka mestinya paham, bahwa masyarakat yang muak dengan korupsi ini, menginginkan hukuman yang tegas dan berat bagi para pelaku korupsi, termasuk hukuman menyita harta mereka yang didapat dari uang hasil korupsi tersebut.

LESTANTYA R. BASKORO –LAWMAG

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya