Malam

Sabtu, 2 Desember 2017 22:59 WIB

Ilustrasi malam. Reuters

Berangsur-angsur, di kota-kota dunia, malam disisihkan.
Dari radiometer satelit NASA, dari sebuah alat yang khusus dibuat untuk mengukur terangnya cahaya malam hari, disimpulkan: antara tahun 2012 sampai dengan 2016, wilayah di luar rumah yang disinari penerang buatan tumbuh 2%. Para ilmuwan pun mengatakan, hilangnya malam akan menimbulkan dampak negatif bagi "flora, fauna, dan kehidupan sehat manusia". BBC mengutip jurnal terkenal Nature: penerangan buatan membahayakan persilangan tanaman, dengan mengurangi kegiatatan persilangan oleh serangga-serangga malam hari.


Ada dampak lain yang merisaukan: pencahayaan buatan yang meluas tentu saja menambah kebutuhan energi untuk listrik, dan buruk sekali jika batubara, pembawa pencemaran yang serius, yang jadi sumbernya.


Tapi manusia perlu menciptakan siang yang artifisial, seperti lapangan golf di Kesultanan Brunai yang terus menerus terang benderang agar para pangeran bisa bermain setiap saat, juga ketika manusia biasa sedang lelap…
Malam, pada akhirnya, memang bukan cuma sebuah pergantian waktu. Malam sebuah fenomena kebudayaan. Ia makna yang berubah.


Di Eropa, di mana iklim dan musim menyebabkan matahari dianggap begitu penting, sejarah malam dimulai dengan kecemasan. Dalam sajak "Historia de la Noche" Jorge Luis Borges menulis:


Pada mulanya adalah buta dan mimpi,
dan duri yang mengoyak telapak
dan rasa takut
kepada ajak…

Advertising
Advertising


Memasuki abad ke-17, malam bukan lagi disambut dengan ketakutan, dengan temor de los lobos; rasa takut kepada ajak tak ada lagi; serigala, jin dan peri jahat sudah diusir. Sang Ratu Malam kalah. Sebagaimana digambarkan Mozart dalam operanya, Die Zauberflöte, (Serunai Sihir), Ratu ini, yang ingin merebut "sirkel matahari", telah dikutuk jadi malam yang kekal, dan Sarasto, pendeta Matahari, menang dengan penuh kearifan. Dapat dikatakan opera yang digubah di tahun 1791 ini sebuah ekspresi Zaman Pencerahan Eropa, ketika "cerah" - lambang akal budi - menistakan dan mengalahkan "gelap/malam", kiasan "kebodohan".


Dan Eropa memasuki abad ke-17, dan malam jadi waktu yang tak menakutkan. Cahaya bikinan mulai berperan. Rumah-rumah tak lagi tersungkup gelap sekian jam setelah matahari tenggelam; orang tak lagi hanya berdoa, bersetubuh, atau tidur. Lampu membuat waktu senggang berubah: malam adalah saat bermain kartu, membaca, menulis surat, saling menatap...


Juga di luar rumah. Lentera jalan yang di abad ke-9 sudah dikenal di Cordova, di kerajaan Islam Spanyol, lima abad kemudian jadi corak kota London. Pada 1417, walikota memerintahkan agar lentera digantung di luar selama malam musim dingin. Tak diperlukan lagi anak-anak yang disewa mengantar orang ke tujuannya dalam gelap. Di awal abad ke-16, Paris mengikuti pola itu - dan kemudian, seperti kota-kota lain, menggunakan lampu gas buat menerangi jalan, sebelum listrik ditemukan.


Kota-kota Eropa yang menjinakkan malam membentuk lingkungan hidup yang berbeda. Di tahun 1500-an, Paris malam hari adalah Paris yang membisu - Paris yang dicekam jam-malam. Sejak 1667, sejak Raja Louis XIV memasang lampu di semua jalanan, malam jadi koloni orang kota. Colonization of the night, kata Craig Koslofsky, yang dalam Evening's Empire menulis sejarah malam di masa awal Eropa modern. Setelah matahari tenggelam, seni, kegembiraan, pertukaran ide dan lembur di laboratoria jadi kegiatan yang lumrah - dan peradaban terjadi. Malam bahkan jadi bagian kapitalisme.


Perubahan itu memangkas satu unsur penting agama. Pernah, ketika Protestantisme baru berkembang dan ditindas penguasa Katolik, orang memakai gelap malam untuk beribadah dengan sembunyi-sembunyi. Dalam kehidupan religius, kecemasan bertaut dengan meditasi dalam gelap. Tapi sejak manusia sanggup memproduksi terang, malam kudus hanya muncul dalam nyanyian Natal. Ibadah jadi bagian bunyi brisik atau sebuah show tanpa kekudusan.


Ceritanya lain di negeri katulistiwa. Di Indonesia, sejarah malam berbeda: bukan cerita tentang dua belahan waktu yang dipisahkan celah, melainkan tentang kontinyuitas dan kontras. Bila di Paris baru di awal abad ke-18 ada pertunjukan seperti opera, yang diproduksi di malam hari, di Bali dan di Jawa sejak semula malam adalah bagian yang integral dari wayang kulit: di bawah blencong, muncul Arjuna dan Srikandi - bayangan - dari permainan cahaya dengan gelap.


Di sini, siang, senja, malam, dinihari, sambung menyambung, karena tak pernah ada suhu di bawah nol yang mengancam. Di pedalaman yang tanpa lampu, anak-anak bermain di bawah sinar bulan. Beta ada di malam, ada di siang, kata Pattirajawane dalam sajak Chairil Anwar - dan ini tak hanya berlaku untuk "yang dijaga datu-datu".


Di katulistiwa, mata kita menikmati tamasya bukan karena banyaknya cahaya - yang bisa menyilaukan - tapi karena kontras antara gelap dan terang. Siang tak perlu dibikin-bikin, malam tak perlu merepotkan.
Tapi seringkali, kita memisahkan kontinyuitas dari kontras dan sebaliknya, memisahkan kontras dari kontinyuitas - dan hanya mengerti malam yang utuh atau siang yang sepenuhnya terang.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya