Peluang Harga Minyak Rendah

Penulis

Selasa, 14 November 2017 06:30 WIB

Tri Winarno
Peneliti senior Bank Indonesia


Pada 2008, ketika Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (NIC) menerbitkan laporan strategis dalam Global Trends 2025, prediksi kuncinya adalah dunia sedang menghadapi kompetisi konsumsi energi yang semakin ketat. Permintaan energi Cina sedang tumbuh dan sumber minyak dari non-OPEC, seperti dari Laut Utara, semakin menyusut.


Setelah dua dekade dengan harga minyak yang relatif rendah dan stabil, harga minyak melambung lagi melebihi US$ 100 per barel pada 2006. Berbagai ahli menyebutnya masa peak oil atau cadangan minyak dunia telah mencapai puncaknya, sehingga produksi minyak semakin terkonsentrasi di Timur Tengah, yang biaya produksinya murah tapi rentan pergolakan politik dan keamanan. Bahkan Arab Saudi diperkirakan telah mengeksplorasi ladang minyaknya dengan kapasitas penuh, yang kemungkinan kecil menemukan ladang minyak baru dalam skala masif.


NIC tidak mengesampingkan kemungkinan kejutan teknologi, tapi berfokus pada teknologi yang salah. Mereka menekankan pada potensi energi terbarukan, seperti matahari dan angin. Padahal terobosan nyata adalah revolusi minyak dan gas dari serpih (shale oil) melalui hydraulic fracturing. Teknologi hidrolika patahan ini adalah proses ekstraksi minyak maupun gas dengan memberikan injeksi cairan bertekanan tinggi secara horizontal ke bawah lapisan batuan tempat gas dan minyak tersebut terjebak.


Walaupun teknologi ini bukan sesuatu yang baru, penggunaannya pada bebatuan serpih adalah sesuatu yang baru. Pada 2015, lebih dari separuh produksi gas alam di Negeri Abang Sam berasal dari gas serpih dan pangsanya semakin meningkat secara signifikan.

Advertising
Advertising


Limpahan produksi gas serpih telah mengubah wajah Amerika, dari pengimpor menjadi pengekspor energi. Departemen Energi Amerika memperkirakan negeri itu memiliki cadangan 25 triliun meter kubik gas serpih. Jika dikombinasikan dengan cadangan minyak dan gas lainnya, ini akan bertahan sampai dua abad. Badan Energi Internasional memperkirakan, pada 2020, Amerika Utara akan mengalami swasembada energi. Di Amerika, fasilitas pengemasan gas alam cair (LNG) impor telah diubah untuk kebutuhan ekspor gas.


Pasar gas dunia juga telah mengalami transformasi. Dulu, pasar gas dibatasi oleh ketergantungan pada pipa gas. Tapi, dengan LNG, pemasaran gas semakin fleksibel. Pada 2005, hanya 15 negara yang mengimpor LNG. Sekarang, jumlahnya mencapai tiga kali lipat. Selain itu, skala ekonomi yang lebih kecil untuk sumur gas serpih membuat produksinya lebih responsif terhadap fluktuasi harga pasar.


Melimpahnya gas serpih meningkatkan kekuatan Amerika. Menurut pakar dari Harvard, Meghan O’Sullivan, dalam bukunya, Windfall, revolusi gas serpih mempunyai sejumlah implikasi bagi kebijakan luar negeri negara itu. Hal tersebut memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi impor yang berujung pada perbaikan neraca pembayaran. Tambahan pendapatan dari penghasilan pajak gas serpih meringankan anggaran pemerintah.


Ada pandangan, semakin mandirinya Amerika dalam soal energi, semakin menjauh dia dari Timur Tengah. Pendapat ini mengecilkan makna ekonomi energi. Gangguan besar, seperti perang dan serangan teroris yang berakibat terhentinya aliran migas yang melewati Selat Hormuz, akan memicu kenaikan harga yang sangat tinggi di Amerika, Eropa, dan Jepang. Di samping itu, Amerika punya kepentingan selain minyak di kawasan tersebut, seperti non-proliferasi nuklir, proteksi terhadap Israel, hak asasi manusia, dan pengendalian terorisme.


Amerika juga dapat menggunakan senjata minyaknya untuk menekan Iran agar menghentikan program senjata nuklirnya. Tapi keberhasilan itu bergantung pada kemauan Arab Saudi untuk mengganti ekspor minyak Iran, yang sekitar 1 juta barel per hari. Amerika juga dapat menekan negara-negara seperti Venezuela untuk menggunakan migasnya guna mempengaruhi negara-negara di sekitar Karibia. Singkatnya, telah terjadi pergeseran tektonik dalam geopolitik energi.


Mengingat kecenderungan harga minyak yang rendah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan Indonesia. Pertama, harga minyak yang rendah sangat menguntungkan perekonomian domestik, terutama karena Indonesia sudah menjadi net importir minyak. Turunnya harga minyak akan memperkecil harga yang harus dibayar pemerintah untuk mengimpornya dalam kuantitas yang sama. Tapi, karena sebagian besar impor migas adalah bahan bakar minyak (sekitar 70 persen), perlu perluasan pembangunan kilang minyak agar Indonesia cukup mengimpor minyak mentah saja.


Kedua, Indonesia juga harus gencar memanfaatkan revolusi gas serpih karena punya ladang minyak, baik yang tua maupun yang masih produktif, untuk direvitalisasi menghasilkan gas serpih. Ketiga, pola konsumsi energi nasional harus didorong pada energi yang semakin mengurangi konsumsi minyak dan menekankan pada konsumsi energi lain, khususnya gas. Kalau tiga hal itu dilakukan dengan segera, ketahanan energi nasional akan mudah menjadi kenyataan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya