Tjalie

Penulis

Minggu, 5 November 2017 06:10 WIB

Ada pintu belakang dan ada Ciliwung, sungai yang tak diacuhkan. Dan dalam cerita ini, ada Meneer Barkey.


Tjalie Robinson, penulis Belanda yang terkenal dengan corat-coretnya, Piekerans van een straatslijper, menciptakan tokoh ini buat ceritanya, Vivere pericolosamente. Meneer Barkey berumur 34 tahun, berkulit putih, mata biru, rambut pirang, mirip Belanda totok, meskipun sebenarnya ia Indo. Ia tak banyak bergaul dengan Belanda-peranakan lain-mereka yang warna kulitnya lebih gelap. Penampilan seperti itu bikin kariernya bagus: dengan masa kerja cuma 14 tahun, ia sudah dinaikkan jadi kepala bagian. Kelompok Indo di kantor itu mencemburui nasib baiknya dan menuduhnya sebagai pengkhianat.


Di rumah, di tepi Ciliwung, Meneer Barkey juga tak bergaul dengan tetangga. Bahkan ia tak begitu akrab dengan istrinya. Empat tahun lebih tua, perempuan itu ia panggil "Moesje", terkadang "Pompelmoesje", si Jeruk Bali, karena bentuk tubuhnya bulat. Meneer & Mevrouw Barkey tak punya anak.


Moesje gemar membaca di tempat tidur sampai lewat tengah malam. Maka ia tidur sepanjang siang kayak kerbau setelah melahap rijsttafel. Tjalie Robinson tak menyebut rumah itu punya pembantu. Ia hanya menceritakan, Meneer Barkey tak pernah siesta-mungkin karena ia sudah tidur di kantor (tanda bahwa ia, di kantor pemerintah itu, bukan orang yang ambisius). Selama si Jeruk Bali lelap, Meneer akan mengisi waktu dengan memeriksa apa saja yang ada di rumahnya, untuk diperbaiki bila perlu.


Sehabis itu, Meneer Barkey akan lewat pintu belakang. Dengan berkemeja lengan pendek dan bercelana kolor katun yang panjangnya sampai di bawah lutut, ia akan berdiri di tepi Ciliwung, merokok.
Itulah saat-saat Meneer Barkey merasa jadi dirinya sendiri-bukan seperti ketika ia di kantor. Di kantor, dengan jas dan dasi, ia pegawai gubernemen, ia ambtenaar. Ia perabot. Meskipun terhormat.

Advertising
Advertising


Entah kenapa, pada suatu hari, mungkin lantaran celana kolor itu pula, Barkey yang Barkey ini mendadak merasa terimbau Ciliwung. Sebelumnya, sungai itu baginya hanya campur aduk yang bergerak dengan sampah, bangkai binatang, tahi manusia-indikator segala hal yang rendah dan vulgar di Hindia Belanda. Tapi hari itu berbeda: Barkey melihat Ciliwung sebagai kontras yang asyik. Sungai itu hidup, menampung aneka ragam hal, sedangkan rumah tempat hidupnya sekerat dunia yang acuh tak acuh, statis.
Meneer Barkey pun memutuskan turun berenang.
Dan saat itu sesuatu berubah. Lelaki Indo yang tampak totok itu memasuki vivere pericoloso, hidup dengan berani, "nyrempet-nyrempet bahaya"-hidup yang dulu tak dijalaninya sebagai pegawai gubernemen. Ia senang. Vitalitasnya tumbuh.


Tampaknya ada sesuatu pada Ciliwung yang hendak dikemukakan Tjalie Robinson.
Tjalie, nama pena Jan Boon (1911-1974), adalah penulis pembawa suara murung, jengkel, kocak, mencemooh: suara orang "Indo" di negeri jajahan. Ia lahir di Nijmegen, meninggal di Den Haag, tapi bagian penting hidupnya dijalani di Indonesia. Ibunya berdarah Jawa. Raut muka Tjalie tak jauh berbeda dengan moyang emaknya: pesek, tak bermata biru. Ia tak seperti Meneer Barkey. Dan seperti mereka yang bukan Belanda "murni", statusnya di tatanan kolonial selalu oleng.


Itu sebabnya seluruh hidupnya ia kerahkan agar para Indo didengar-dan untuk itu ia jadi antitesis bagi hidup ala Barkey. Baginya, orang macam Barkey tak sadar hidup sebagai façade yang membosankan, sebuah tampak-depan bangunan masyarakat kolonial Batavia yang takut berubah.
Di tahun 2008, Wim Willems menerbitkan Tjalie Robinson, biografie van een Indo-schrijver, setebal 582 halaman: dalam karya-karyanya, tulis Willems, Tjalie mencari dua "api khatulistiwa" yang membakar: "pembusukan" (bederf) dan "dorongan hidup yang nekat" (roekeloze levensdrang). Dengan itu ia cemooh muurtjesmensen, orang-orang yang berlindung di balik tembok kerdil, tak hendak meninggalkan rumah.


Tembok kerdil yang dibangun kolonialisme, yang diproyeksikan sebagai dinding abadi, adalah tembok rasial, etnis, kelas sosial-yang sebenarnya dinding kecemasan. Orang Belanda totok yang berkuasa di Nusantara waswas bahwa mereka, karena hidup jauh dari "peradaban" (maksudnya Eropa), akan tampak luntur atau bengkok-tak pantas lagi jadi bagian "kelas menengah Eropa" dengan ciri yang diidamkan.


Maka dengan segala cara mereka jaga kemurnian alias ke-totok-an. Dengan kekuasaan dan peraturan mereka bikin tapal batas, dan mereka kendalikan yang di luar sana dengan ruang, tembok, dan cap tempelan masing-masing agar tak bercampur bikin cemar: "Eropa", "Timur Asing", "pribumi".


Dan yang hibrida? Orang macam Tjalie? Pelbagai telaah masa kolonial menunjukkan bagaimana sikap para totok melihat "Indo": seperti Meneer Barkey melihat Ciliwung. Butek, mungkin bau.
Tapi Tjalie Robinson perlihatkan, yang hibrida tak berarti cacat. Ciliwung adalah arus. Arus sungai, seperti kehidupan, bergerak campur aduk, tak cuma tahi.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya