Meikarta dan Kekurangan Perumahan

Penulis

Senin, 16 Oktober 2017 06:30 WIB

Dimas Wisnu Adrianto
Kandidat Doktor The University of Manchester, Inggris

Gebrakan Lippo Group dengan membangun megaproyek Meikarta menjadi salah satu kunci dalam formasi megapolis terbesar ketiga di dunia itu. Aglomerasi perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan sepanjang Pantai Utara Jawa Barat diprediksi melahirkan jejaring kota yang lebih besar daripada Shanghai dan New York. Terlebih, keberhasilan Indonesia menyodok ke posisi ke-4 negara paling berprospek untuk investasi dunia (UNCTAD, 2017) akan berpotensi melahirkan megaproyek sefantastis Meikarta lainnya dalam waktu yang relatif dekat.


Keuntungan dari segi lokasi yang dimiliki wilayah Pantai Utara Jawa Barat telah mengakselerasi investasi di bidang properti, tapi sayangnya tidak diikuti oleh kinerja sistem regulasi, evaluasi, serta pemantauan perencanaan dan pembangunan yang mampu mengimbangi dinamika di sektor bisnis properti. Sinyal penangguhan sementara proyek Meikarta oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menandakan adanya masalah fundamental yang membingkai disharmonisasi antara sektor swasta dan pemerintah dalam kerangka pembangunan properti serta infrastruktur di Indonesia. Tidak hanya pada persoalan perizinan, yang semestinya sudah dikantongi pembangun sejak sebelum peletakan batu pertama, tapi juga lemahnya sinkronisasi visi serta misi antara pemerintah dan swasta yang membuat arah investasi menjadi tidak jelas dan cenderung tidak efisien.
Sejatinya, keberadaan sektor swasta diharapkan mampu mendukung tugas pokok pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dan pelayanan publik secara adil serta merata, tidak terkecuali penyediaan perumahan untuk mengatasi backlog (selisih pasokan dan permintaan rumah) atau kekurangan sarana perumahan bagi generasi sekarang dan mendatang. Tugas berat yang harus dipikul dengan segala keterbatasan finansial melahirkan celah bagi kerja sama pemerintah dengan sektor swasta untuk memastikan bahwa setiap keluarga di Indonesia mempunyai akses atas kepemilikan rumah. Hal ini juga ditegaskan serta disambut baik oleh CEO Lippo Group, James Riady, yang mengklaim bahwa Meikarta memiliki misi untuk berkontribusi mengatasi backlog nasional yang kini telah mencapai sekitar 11,5 juta unit rumah, menurut data yang dihimpun Kementerian Perumahan Rakyat.


Namun, bila data backlog tersebut ditelaah lebih mendalam, ada hal yang cukup mengusik. Saat ini Provinsi Jawa Barat justru merupakan provinsi dengan backlog terbesar, yang mencapai 2.320.197 unit rumah pada 2015. Upaya mengatasi backlog di provinsi itu juga terlihat kurang menggembirakan karena sejak 2010 hanya ada penambahan sekitar 13 persen rumah tangga baru yang memiliki akses atas kepemilikan rumah. Angka tersebut masih relatif di bawah rata-rata penurunan backlog nasional, yaitu 15,75 persen. Lalu, mengapa provinsi dengan pertumbuhan properti semacam Meikarta tersebut di Indonesia itu justru memiliki angka backlog terbesar? Padahal, 20 tahun atau lebih sebelum Meikarta telah bertaburan megaproyek "kota-kota satelit" serupa, seperti Lippo Cikarang dan Kota Jababeka, yang seharusnya bisa memberi akses kepada masyarakat luas untuk memiliki rumah.


Kenyataan ini tentu melahirkan spekulasi perihal keberpihakan megaproyek tersebut. Lemahnya daya beli masyarakat kalangan menengah serta tingginya tren investasi kalangan ekonomi atas menjadi salah satu ganjalan dari upaya penyediaan perumahan secara adil dan merata yang dipupuk melalui skema pelibatan pihak swasta. Banyak di antara unit rumah atau apartemen yang berada dalam kawasan real estate di kawasan peri-urban (pinggiran) Jakarta tersebut tidak berpenghuni. Banyak pemilik properti tersebut menghabiskan waktunya dari Senin sampai Jumat untuk tinggal di apartemen di pusat Kota Jakarta, dekat dengan tempat mereka bekerja, lalu berakhir pekan di rumah kedua mereka di pinggiran kota. Apabila sebagian besar tipologi pemilik properti tersebut seperti ini, klaim bahwa megaproyek seperti Meikarta didedikasikan untuk mengatasi backlog perumahan menjadi sangat tidak relevan.

Advertising
Advertising


Selain tidak tepat sasaran, tipe perumahan atau apartemen yang dikembangkan di kawasan pinggiran itu pada umumnya berwujud gated communities atau komunitas yang hidup secara eksklusif dengan "membatasi" akses bagi kalangan umum. Walau mungkin ada alasan yang cukup rasional, seperti meningkatkan keamanan, tapi menjamurnya gated communities membuat masyarakat lokal (yang telah terlebih dulu menghuni kawasan tersebut) terdeprivasi dari pelayanan umum dan infrastruktur lainnya. Padahal mayoritas penduduk lokal tersebut dulunya menggantungkan hidup dari pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi (sektor pertanian) yang telah hilang ditelan ekspansi kawasan perkotaan dan kini harus berjuang untuk beradaptasi dengan transformasi ekonomi dan budaya.

Jika benar demikian, untuk apa atau untuk siapa megaproyek seperti Meikarta dilahirkan?

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya