Masa lalu adalah sebuah negeri asing seseorang mengutip sepotong kalimat dari sebuah novel Inggris.
Agaknya memang demikian: menengok foto-foto sendiri ketika 25 tahun lebih muda, melihat pemandangan kota ketika hanya ada lima mobil di jalan….
Ada sepatah kata dari bahasa Jawa yang menggambarkan keadaan itu: pangling. Dalam pangling kita nyaris tak mengenal lagi apa yang pernah kita kenal. Waktu memisahkan kini dan dulu seakan-akan membagi sebuah wilayah jadi dua. Yang satu "tempat" kita mengalami hari ini. Yang lain "tempat" yang jauh. Kita terkait dengannya, tapi tak secara pas.
"The past is a foreign country; they do things differently there." Novel Go-Between L.P. Hartley dimulai dengan kenangan seseorang berusia 60 tahun yang menemukan sebuah catatan harian yang ditulis ketika ia berumur 13 tahun--menemukan dirinya yang lain.
Apa sebenarnya yang kita ketahui tentang "negeri asing" itu? Catatan harian hanya bisa memberi satu bagian yang sangat kecil dari kejadian yang tak 100 persen terungkap. Rekaman fotografis hanya menangkap yang sejenak.
Di sana, masa lalu bukan fakta. Masa lalu adalah momen-momen yang ditafsirkan dengan tafsir yang selamanya mencoba-coba. Adakah Chairil Anwar berpacaran dengan Sri Ayati, tak bisa ditentukan dari satu sajak. Adakah Bung Aidit seorang perokok atau bukan, tak bisa ditentukan berdasarkan potret di saat ia memegang atau tak memegang sigaret. Adakah pada 17 Juli 1789 ada suatu peristiwa besar atau tidak, itu tak bisa dipastikan dari catatan harian Louis XVI. Raja yang kemudian dipancung lehernya itu hanya mencatat "rien", tak ada apa-apa, ketika rakyat Paris menyerbu penjara Bastille ledakan pertama Revolusi Prancis.
Masa lalu hadir kembali ketika kita kasmaran membaca sajak, atau curiga, atau ogah-ogahan. Antusiasme, trauma, cemas, dan hal-hal lain yang tak disadari ikut dalam proses merekam dan mengingat. Tak ada masa lalu yang dibangun kembali tanpa situasi kini. Tak ada masa lalu yang murni
Pada suatu pagi Yayuk mencicipi sambal kecombrang dan ia teringat akan jari-jari ibunya di penggerus cabai; ia merasa terharu, dan pagi terasa berbeda. Atau pada suatu sarapan Marcel menghidu bau satu adonan kue dan teringat akan rasa madeleine yang dulu dibikinkan tantenya, dan tiba-tiba seluruh pemandangan di depannya tampak berubah.
Ingatan membentuk persepsi, persepsi membentuk ingatan: masa lalu, "negeri asing" itu, bukan "asing" karena yang telah silam sama sekali terpisah dari yang berlangsung kini, melainkan karena ia tak bisa sepenuhnya kita kuasai--bahkan dengan rencana yang paling rinci sekalipun.
Berbeda dari anggapan yang lazim, ingatan bukan mekanisme mereproduksi. Ingatan adalah kemampuan membentuk sesuatu yang baru dari unsur lama (yang dulu, yang tadi) dalam persenyawaan dengan yang kini. Ketika kita memandang foto-foto Alex dan Frans Mendur tentang peristiwa politik di Jakarta tahun 1945, dan kita terpesona, yang kita lihat bukan hanya sebuah repetisi. Kita dan foto-foto itu hadir dengan kesan baru, mungkin melahirkan interpretasi yang sebelumnya tak ada. Itu sebabnya fotografi dianggap "meng-abadi-kan": wajah itu, peristiwa itu, lanskap itu, yang seharusnya ditelan waktu, seakan-akan diperbarui setiap kali.
Artinya, sekali lagi, yang lampau tak sama sekali terpisah dari yang sekarang. Sebagaimana masa lalu tak pernah murni, juga masa kini. Keduanya bertaut, saling membentuk.
Sebab itulah kita sebaiknya bertanya: sejauh manakah kita tahu bahwa kita sesungguhnya tidak tahu tentang masa lalu--dalam arti tak bisa sepenuhnya mengurainya, tak sanggup membuat anatominya yang "benar"?
Katakanlah, tentang 30 September 1965. Jarak kita dari "negeri asing" itu kian jauh. Endapan ingatan dan cara membaca bertambah kompleks. Kecemasan, harapan, kepentingan, demikian juga tafsir atas fakta--bahkan faktanya sendiri--juga berubah, secara kuantitatif atau kualitatif. Bahasa yang dipakai membicarakannya juga tak sama. Leksikon 2017 berbeda dengan kamus 1965. Kita tak tahu lagi apa itu "Perang Dingin"; kata "kontrarevolusioner" tak punya dampak yang seperti tahun 1960-an, bahkan kata "komunisme" tak lagi mengacu ke satu wacana dan lembaga yang identik: antara 1917 dan pasca-Mao, ada pelbagai "komunisme" yang terkadang berbentrokan.
Artinya, yang ingin "meluruskan sejarah" perlu tahu bahwa sejarah tak pernah bisa lurus. Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S yang diproduksi Perusahaan Film Negara sama mencongnya, meskipun mungkin sama seramnya, dengan film The Act of Killing yang dibuat Joshua Oppenheimer.
Dalam kegaduhan tentang itu, kita pun lupa: satu bagian penting dalam mengingat bukanlah mengulang, melainkan melahirkan yang baru. Kini tinggal kita memilih apa gerangan yang baru itu: kebengisan, atau kehidupan.
Goenawan Mohamad