Politikus Rangkap Jabatan

Penulis

Minggu, 5 April 2015 22:37 WIB

Umbu TW Pariangu, Dosen Fisipol, Undana, Kupang

Polemik larangan merangkap jabatan di partai politik dan pemerintahan kembali mencuat. Sorotan ditujukan ke Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, yang kini masih aktif menjabat Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga. Larangan Presiden Jokowi untuk rangkap jabatan sepertinya dianggap angin lalu oleh Puan.

Menurut Puan, posisinya di partai selama ini nonaktif dan ia selalu berfokus pada pekerjaan dan tanggung jawab di eksekutif sebagai menteri (Tempo.co, 1 April). Sikap Puan gayung bersambut dengan opini politikus PDIP, Effendi Simbolon, yang menganggap bahwa aturan lisan larangan rangkap jabatan tidaklah berdasar.

Dulu, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDIP salah satu partai yang turut memprotes rangkap jabatan kementerian. Namun, setelah kue eksekutif diraih, para tuan dan puan PDIP seolah berubah sikap. Sinisme di atas konon terkait dengan persiapan partai berlambang moncong putih itu melaksanakan kongres pada April ini, di mana Puan disanterkan akan masuk lagi dalam kepengurusan periode 2015-2020. Puan dianggap sebagai sumber investasi politik untuk melanjutkan dominasi trah Sukarno. Namun, jika benar ia masih dipakai lagi dalam kepengurusan berikutnya, rakyat pasti mempertanyakan sejauh mana loyalitasnya terhadap PDIP sekaligus terhadap kebijakan pemerintah.

Walaupun dari aspek perundang-undangan yang mengatur lembaga kepresidenan, kementerian, pemerintah daerah, hingga di tingkat pemerintahan desa tak ada larangan eksplisit terkait dengan rangkap jabatan, ketentuan tersebut sudah searah dengan jarum jam prinsip pemerintahan yang demokratis. Pelibatan menteri asal parpol sejatinya ditujukan untuk memperkuat dukungan politik dan mengawal kerja pemerintah. Koalisi figur yang terbangun semestinya untuk mensolidkan kerja di kabinet maupun di pemerintahan. Sayangnya modal elektoral tersebut kerap bersinggungan dengan ekses mutualisme politik, di mana jabatan menteri kerap dijadikan sumber akses politik dan ekonomi bagi parpol.

Selain berpotensi melahirkan praktek korupsi dalam wujud "sapi perah" oleh partai sebagaimana terlihat dalam kasus Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Agama, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, rangkap jabatan memicu konflik kepentingan atau alih fungsi jabatan dan membuat fokus kerja menteri terpecah. Itu sebabnya, para menteri yang telah diserahi mandat politik sebagai pembantu presiden wajib menjaga komitmen dan integritas untuk mewakafkan seluruh pikiran dan tenaganya bagi kepentingan rakyat dan negara tanpa perlu terlibat lagi dengan bonggolan urusan di luar kementerian, termasuk partai.

Sementara NasDem dengan tegas melarang rangkap jabatan tiga kadernya di kabinet dan pencalonan Ketua PKB Muhaimin Iskandar di bursa kementerian terganjal karena lebih memilih mengurus partai, PDIP sebagai partai oposan yang kritis dan pembela wong cilik semestinya lebih militan bersikap. Bukan malah memakai politik diplopia (penglihatan ganda) dengan membiarkan kadernya yang satu mundur, tapi kader yang lain "dianakemaskan".

Rupanya kicauan lawas mantan Presiden Filipina Manuel Quezon, "My loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins", belum mampu menjinakkan gerak liar si Banteng. *


Berita terkait

Pengamat: Tanpa Karakter, Generasi Milenial Jadi Politikus Busuk

27 Februari 2018

Pengamat: Tanpa Karakter, Generasi Milenial Jadi Politikus Busuk

Agar tidak menjadi politikus busuk, Siti Zuhro menyarankan kepada generasi milenial untuk memiliki bekal pengetahuan cukup.

Baca Selengkapnya

Ah, Rupanya Setya Novanto Pernah Digelari Pria Paling Tampan  

14 Desember 2015

Ah, Rupanya Setya Novanto Pernah Digelari Pria Paling Tampan  

Perjuangan hidup Setya Novanto yang berliku dibenarkan Olis Datau, teman dekatnya di Surabaya.

Baca Selengkapnya

Istana Setya Novanto, Tak Cuma Memandang Hujan dari Luar  

14 Desember 2015

Istana Setya Novanto, Tak Cuma Memandang Hujan dari Luar  

Rumah itu dibangun sesuai dengan karakter Setya dan istri keduanya, Deisti Astriani Tagor.

Baca Selengkapnya

Setya Novanto dan Istananya yang Megah di Kupang

14 Desember 2015

Setya Novanto dan Istananya yang Megah di Kupang

Bangunan ini didirikan Setya Novanto untuk memenuhi beberapa fungsi sekaligus.

Baca Selengkapnya

Kisah Setya Novanto Hobi Diskusi Bareng Istri di Kamar Mandi

14 Desember 2015

Kisah Setya Novanto Hobi Diskusi Bareng Istri di Kamar Mandi

Setya Novanto dan Luciana Lily Herliyanti sepakat membangun rumah dan mendesainnya bak hotel, bahkan istana.

Baca Selengkapnya

Korupsi dan Politik

14 November 2014

Korupsi dan Politik

Seorang anggota DPR dari sebuah partai besar memiliki sebidang tanah yang luas di sebuah tempat di Jawa Timur. Dia memang dikenal sebagai seorang pengusaha real estate. Di tengah tanahnya ada sebuah jalan kampung kecil. Sebagai seorang anggota DPR, dia mengusulkan anggaran pembangunan infrastruktur jalan itu atas nama kepentingan publik. Kemudian, anggaran sebesar Rp 120 miliar disetujui panitia anggaran DPR.

Baca Selengkapnya

Artidjo: Semua Koruptor Dicabut Hak Politiknya  

19 September 2014

Artidjo: Semua Koruptor Dicabut Hak Politiknya  

"Tapi, kalau jabatan hanya untuk korupsi biasa dan bukan jabatan poltik, tidak tepat dicabut hak politik."

Baca Selengkapnya

Fahri Hamzah dan Kontroversinya  

19 Agustus 2014

Fahri Hamzah dan Kontroversinya  

Setidaknya ada lima persoalan yang membuat nama politikus PKS itu menjadi kontroversi.

Baca Selengkapnya

Puisi dalam Politik Kita

2 Mei 2014

Puisi dalam Politik Kita

Sebenarnya, sejarah puisi adalah sejarah yang luhur. Ketika teologi, filsafat, sains, atau bahkan agama mengalami kejenuhan dalam menjawab teka-teki dan memberi akan keber-Ada-an manusia, maka peradaban berpaling ke puisi. Puisi menjadi semacam Sang Mesias. Menurut penyair metafisik Inggris, John Keats, puisi adalah satu-satunya yang mampu merangkul manusia dalam keterasingannya. Jadi, tak mengherankan jika mistisisme atau sufisme dalam Islam pada akhirnya berpaling ke puisi. Sebab, hanya melalui puisi, pengalaman transenden (ektase) seorang sufi dapat dibahasakan. Keluhuran puisi pula yang membawa Aristoteles justru menilai bahwa puisi harus berperan menciptakan efek katarsis guna menekan nasfu-nafsu rendah.

Baca Selengkapnya

Survei: Publik Kian Tak Percaya Politikus  

7 April 2013

Survei: Publik Kian Tak Percaya Politikus  

Karena banyaknya kader partai yang di eksekutif dan legislatif yang terjerat kasus korupsi.

Baca Selengkapnya