Dinasti Politik (Kasus Joko Widodo)

Penulis

Ubedilah Badrun

Kamis, 26 Oktober 2023 10:15 WIB

Spanduk bergambar Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Presiden Joko Widodo terpampang di depan Rumah Indonesia Maju, Jalan Erlangga II, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat, 13 Oktober 2023. Rumah Indonesia Maju yang disebut sebagai rumah pemenangan Prabowo-Gibran muncul disaat Prabowo belum menentukan cawapresnya untuk Pilpres 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis

Mungkin anda atau banyak orang akhir-akhir ini bertanya-tanya, apa benar yang dilakukan Joko Widodo dan keluarganya saat ini disebut Dinasti Politik? Bagaimana penjelasan ilmiahnya fenomena keluarga Joko Widodo ini disebut Dinasti Politik?

Dinasti Politik dengan Politik Dinasti secara logika bahasa berbeda. Politik Dinasti adalah proses kerja politik untuk membangun kekuasaan yang aktor utama politiknya masih memiliki hubungan darah (keluarga) atau hubungan kekeluargaan. Hasil dari Politik Dinasti adalah Dinasti Politik yaitu kekuasaan yang masih memiliki hubungan darah atau hubungan kekeluargaan dengan penguasa atau dengan yang pernah berkuasa, biasanya secara vulgar dipertontonkan di arena publik karena merasa tidak melanggar undang-undang bahkan merasa didukung rakyat banyak.

Dalam Dinasti Politik kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak atau keluarganya dengan berbagai cara baik dengan cara pengangkatan atau penunjukan (sistem kerajaan) maupun melalui pemilihan umum (sistem demokrasi). Hal itu dilakukan agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Dinasti Politik yang dipilih melalui pemilihan umum secara teoritik menurut Christhope Jaffrelot (2006), Nandini Deo (2012) dan Yoshinori Nishizaki (2022) disebut sebagai Dynastic Democracy atau suatu praktek Demokrasi Prosedural tetapi penguasa Dinastik yang terpilih. Jadi Dinasti Politik tidak hanya terjadi pada masa kerajaan tetapi juga pada sistem demokrasi. Sebab ada keluarga tertentu yang terus berhasrat melanggengkan kekuasaanya secara turun temurun melalui pemilihan umum. Kasus Joko Widodo termasuk kategori ini.

Dinasti Politik Ditolak Sejak Abad Ke-18

Advertising
Advertising

Secara historis Dinasti Politik tumbuh dan berkembang pada era monarki absolut, seiring dengan era Dark Age (abad kegelapan) sampe kemudian hadir era Renaisans (abad pencerahan) yaitu era peralihan dari Abad Pertengahan Akhir ke Zaman Modern, sekitar abad ke-14 hingga abad ke-18.

Upaya abad pencerahan itu memunculkan perubahan sosial besar-besaran diantaranya karena menghendaki kekuasaan berjalan secara demokratis dan mengakhiri kekuasaan monarki absolut yang dinastik, otoriter, dan diktator. Peristiwa itu memuncak melalui Revolusi Perancis pada tahun 1789.

Jadi, dinasti politik sesungguhnya sudah ditolak sejak abad ke-18 itu. Mereka yang masih memelihara politik dinasti sesungguhnya seperti hidup di abad kegelapan dan abad pertengahan.

Kasus Joko Widodo

Sebelum tahun 2012 Joko Widodo bukanlah tokoh yang dikenal luas di arena politik nasional, tetapi pemberitaan di media sosial tentang Joko Widodo saat itu yang dinilai sukses menjadi wali kota Solo membuatnya semakin populer hingga kemudian melenggang menjadi Gubernur DKI Jakarta, meskipun harus menyingkirkan calon Gubernur dari PDIP DKI Jakarta yang muncul saat itu.

Dalam proses pilkada DKI 2012 itulah Joko Widodo melalui kerja algoritma media sosial seperti menghipnotis publik nasional hingga mendorongnya meninggalkan jabatan Gubernur DKI Jakarta meski baru dua tahun menjabat demi menjadi Presiden RI 2014. Joko Widodo menyingkirkan calon Presiden yang sudah diputuskan dalam Kongres PDIP.

Dalam waktu tujuh tahun menjabat sebagai Presiden, disaat yang sama anak dan menantunya direstui jadi wali kota. Pada tahun kesembilan Joko Widodo berhasil menjadikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai adik iparnya dan saat masih berkuasa itu juga ia berhasil menjadikan anak bungsunya sebagai ketua umum partai politik dengan mengabaikan aturan partai dan anak sulungnya sebagai calon wakil Presiden 2024 melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bermasalah.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan tuntutan bahwa capres/cawapres boleh berusia dibawah 40 tahun jika ia seorang kepala daerah, ini mesti dilihatnya bukan semata- mata soal hak konstitusional tetapi penting untuk dicermati bahwa putusan itu mengandung conflict of interest karena memunculkan interpretasi memberikan karpet merah untuk Gibran maju sebagai Cawapres. Karena yang memutuskan dan yang mengetuk palu adalah pamannya Gibran dan akibat keputusan itu Gibran (anak Presiden) melenggang maju jadi cawapres Prabowo maka fenomena itu bisa disebut sebagai Politik Dinasti, sebab ada unsur keluarga dalam proses pengambilan keputusan penting tersebut.

Mirisnya putusan itu terjadi ditengah tingginya harapan agar demokrasi berkualitas. Sedangkan Politik Dinasti itu sesungguhnya sebagai praktek kekuasaan yang bertentangan dengan upaya membangun demokrasi yang berkualitas.

Joko Widodo saat ia berkuasa telah membuat anak-anak dan menantunya menjadi bagian utama dari lingkaran kekuasaan, jadi wali kota, ketua umum partai hingga calon wakil Presiden.

Dinasti Politik Jokowi ini sangat parah mengabaikan kepatutan publik. Sebab anak-anak dan menantunya mendapatkan kekuasaan saat Jokowi sedang berkuasa.

Sementara di Amerika Serikat, George H. W. Bush dan anak tertuanya, George W. Bush, keduanya pernah menjadi presiden tetapi tidak berurutan. Mereka menjadi Presiden Amerika di waktu yang berbeda. George Bush senior menjadi Presiden tahun 1989-1993 sedangkan George Bush yunior menjadi Presiden tahun 2001-2009. Artinya ada jeda waktu dua periode Amerika Serikat dipimpin orang lain dulu, yaitu Bill Clinton, baru kemudian George Bush Yunior.

Jadi betul di negara Amerika Serikat itu ada dinasti dan dianggap boleh tetapi ada jeda, Amerika Serikat yang liberal itu masih mengindahkan kepatutan atau hal etis di dalam politik. Sementara kasus Joko Widodo ini tidak ada jeda, ia mengabaikan kepatutan publik.

Mengapa Dinasti Politik Ditolak?

Proses Politik Dinasti yang terjadi era Joko Widodo ini mendapatkan penolakan dari beragam segmen masyarakat karena pengabaian Joko Widodo kepada kepatutan publik atau mengabaikan hal etis di dalam politik.

Secara sistemik Dinasti Politik ini mendapatkan penolakan publik karena menghambat proses kualitatif konsolidasi demokrasi. Sebab proses konsolidasi yang seharusnya berjalan membuka pintu akses politik terbuka untuk setiap warga negara memiliki peluang mengalami mobilitas vertikal naik tetapi kehadiran Dinasti Politik dengan segala sumber dayanya menutup peluang itu secara bypass (jalan pintas). Proses penguatan demokrasi kembali mundur.

Selain itu Dinasti Politik juga melemahkan kaderisasi dalam tubuh partai politik, karena keluarga dinasti jauh lebih mudah menduduki jabatan politik dibanding kader partai yang merangkak dari bawah. Dengan Dinasti Politik itu siklus kekuasaan hanya berputar di lingkaran yang sama dan karenanya keluarga dinasti itu kemudian berkuasa lama. Dalam sejumlah riset terpercaya kekuasaan yang lama itu cenderung korup dan berpotensi kuat melakukan cara-cara baru otoritarianisme. Sejak akhir abad ke-19 seorang ilmuwan sosial terkemuka Lord Acton menemukan fakta empirik yang kemudian ia membuat adagium yang populer hingga saat ini. Power tend to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

7 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

16 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

37 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

45 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

49 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya