Cak Nun yang Saya Kagumi

Penulis

Idham Cholid

Senin, 30 Januari 2023 13:00 WIB

Emha Ainun Najib atau biasa disapa Cak Nun. ANTARA/Noveradika

Terlepas dari kontroversi yang sudah menggegerkan jagat Indonesia belakangan ini, budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun adalah tokoh yang saya kagumi.

Jaya Suprana menyebut tokoh besar asal Jombang itu manusia multi-dimensi. Selain budayawan, dia juga sastrawan, seniman, cendekiawan, dan agamawan. Sebagai penulis, produktifitasnya luar biasa. Lebih dari 70 buku telah diterbitkan.

Dari dulu, saya menyebutnya Kiai Mbeling. Sejak saya di Jombang pada 1990an awal. Mbeling bukan dalam konotasi negatif, sekadar nakal dan atau tidak taat aturan. Cak Nun, dalam beberapa hal, memang “nakal”. Baca saja tulisan-tulisannya, esainya, puisinya, atau ikuti saja cermahnya, kita akan menemukan kenakalannya.

Dia selalu punya sudut pandang yang berbeda, tapi bukan asal beda. Cak Nun mengajak kita membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan, dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan. Inilah yang jadi landasannya.

Jadzab vs ngeles

Advertising
Advertising

Soal pernyataan yang kontroversial itu, apa merupakan bagian dari kenakalannya? Banyak pihak menyayangkan, tak seharusnya hal itu terucap dari tokoh sekaliber Cak Nun yang kita tahu banyak pengikutnya.

Mengibaratkan Presiden Jokowi sebagai Fir'aun, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan sebagai Haman, dan Anthony Salim sebagai Qarun, bahkan telah dianggap merupakan pelecehan dan penghinaan.

“Itu saya kesambet.” Demikian Cak Nun. Dalam klarifikasi yang dibuat khusus, berdurasi 2 menit 46 detik, dan diberi judul “Mbah Nun Kesambet”, dia jelaskan bahwa apa yang terucap di Majelis Ma'iyah beberapa waktu lalu itu benar-benar tanpa rencana. Di luar kontrol dirinya.

Namanya juga kesambet, tentu ada kekuatan “lain” yang mendorong. Cak Nun sendiri sudah menjelaskan itu. Di kalangan masyarakat Jawa atau Betawi khususnya, kesambet adalah fenomena biasa sebagaimana dipahami selama ini, karena kerasukan roh jahat atau makhluk halus.

Yang menarik, justru bukan di situ lokus pembahasannya. Tetapi fenomena yang selama ini hanya akrab di kalangan bawah, kini telah menjadi perbincangan dalam skala yang lebih luas, di tingkat nasional. Bahkan kemudian ada yang mengejek dengan menyebut Cak Nun sebagai Bapak Kesambet Indonesia. Di sinilah kelebihannya. Tak sedikit pula yang kemudian justru “ndompleng” popularitas Cak Nun.

Meskipun kita tahu, sebutan itu hanya bercanda. Namun, “kesambet”-nya Cak Nun jelas bukan sekadar candaan. Dia tidak sedang “ludrukan”, memberi jawaban khas Jombang yang sarat dengan guyonan. Cak Nun serius. Lihat saja mimiknya saat memberikan penjelasan. Jauh beda, tidak seperti ketika sedang di depan jamaahnya, selalu penuh canda tawa.

Namun, jika pernyataan yang dianggap menghina dan melecehkan Presiden (juga yang lainnya) itu merupakan pelanggaran, lalu hukum apa yang bisa menjerat orang kesambet? Ihwal kesambet ini, tentu juga bukan merupakan jurus pengalihan, sekadar untuk menghindar dari segala tututan.

Cak Nun yang tahu “segala ilmu” itu tentu tidak sedang mengamalkan “ajaran” Casey Stengel (1890-1975), pemain senior dan manajer Bisbol New York Yankes AS. Dia terkenal sering bikin heboh. Tapi diakui, penampilan puncaknya di hadapan Panitia Khusus (Pansus) Senat USA pada pertengahan 1958 tetap menjadi legenda. Apa pasal? Dia tak hanya bikin jengkel. Para senator pun dibuat marah gegara jawaban yang selalu ngelantur kemana-mana.

Casey mengajarkan seni “bicara banyak tapi tidak ada isinya” jika dia ingin menghindari pertanyaan atau membuat bingung si penanya. Kalau mau, bisa saja dia memberi jawaban yang jelas. Tapi jika cocok sebagai strateginya, secara otomatis, dia akan memberi jawaban dengan bahasa berbelit-belit. Cara inilah yang terkenal sebagai “Stengeles”. Kita kemudian menyebutnya dengan “ngeles”.

Jurus yang umum dipakai para politisi ketika tengah kepepet itu, mana mungkin dipraktekkan Cak Nun. Dia bukan politisi. Berpartai pun tidak pernah sama sekali. Pun ketika berbicara, berbelit-belit bukanlah gayanya. Kita tahulah gaya Jawa Timuran, apalagi Jombang, selalu terbuka. Setiap kata, baik ucapan maupun tulisan, selalu punya makna. Jelas pesannya.

Yang tepat, Cak Nun itu kiai. Secara keilmuan pun tak ada yang meragukan sama sekali. Maka, ihwal kesambet juga kontroversi pernyataannya itu, akan lebih tepat jika dilihat dalam perspektif Kiai Mbeling. Bahwa perilaku yang aneh, tidak sebagaimana umumnya (khariqul 'adah), bukanlah sesuatu yang luar biasa. Bisa jadi, inilah fenomena “jadzab” yang selama ini juga akrab di lingkungan para sufi.

Tapi sudah jamak pula, jadzab bukanlah “milik” awam. Sebagai jalan ma'rifatuLlah, ia merupakan jalan khusus yang tak sembarang orang bisa mengamalkannya. Hanya mereka yang “terpilih” yang dapat menempuh jalan khusus ini.

Namun demikian, menurut kalangan sufi pula, ada tanda-tanda sebagai pembeda: antara jadzab hakiki atau yang sekadar cari sensasi. Apa tandanya? Tak lain, dengan melihat tingkah lakunya setelah kondisi terjaga.

Apakah ia senantiasa berdzikir, beribadah, dan menjauhi urusan keduniaan? Jika ternyata sebaliknya, saat dalam kondisi normal, justru lebih mendekat pada ambisi dan pragmatisme duniawi, maka jadzabnya hanya pura-pura belaka.

Lemah lembut

Yang menarik, dalam klarifikasinya, Cak Nun juga menjelaskan prinsip dasar bil-hikmah wal-mau'idhatil hasanah yang harus selalu dijadikan pedoman. Bahwa tidak asal benar saja yang diucapkan, tetapi harus baik dan bijaksana. Inilah ajaran utama tentang dakwah sebenarnya.

Cak Nun juga da'i (pendakwah), tentu sangat memahami dan menguasai persoalan tersebut. Dakwahnya selama ini juga beda, bukan ceramah semata. Dengan prinsip mau'idhatil hasanah, tentu hal baik yang selalu disampaikan. Selain itu, dengan cara yang baik, juga membawa dan menghasilkan kebaikan.

Prinsip tersebut menjadi sempurna karena dengan hikmah (bil-hikmah) yang melengkapinya. Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili (1932-2015), mufassir kontemporer dari Damaskus, “hikmah” itu juga bermakna "lemah lembut" (layyinan), ketika dia menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun agar menghadap dan menyampaikan pesan kepada Fir'aun (Qs. Thaha: 43-44).

Jika kepada raja super dzalim, kafir, dan jelas-jelas memusuhi saja diperintahkan menghadapinya dengan kelembutan; apakah kepada pemimpin muslim boleh berlaku sebaliknya, dengan rasa benci dan kemarahan?

Tentu, kita tak pernah melupakan jasa dan peran Cak Nun selama ini, apalagi ketika reformasi. Di akhir pemerintahan Orde Baru, kita tahu, dia termasuk tokoh yang ikut mendorong lengsernya Soeharto. Cak Nun juga mau “menghadap” istana, dan membisikkan kata-kata: “ora dadi presiden ora patheken” yang viral dan menjadi trending topik saat itu.

Bahkan tiga bulan sebelumnya, dua kali dia ke Cendana, memberikan “advis” khusus agar penguasa 32 tahun itu bisa mengakhiri amanah dengan husnul khatimah. Luar biasa! Betapa saat itu Cak Nun bisa tampil sebagai Musa yang sangat memesona.

Sebagai pengagumnya, tentu tak berlebihan jika saya punya harapan, Cak Nun akan tetap memesona, kini dan seterusnya.

Kalisuren, 27 Januari 2023

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

32 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

44 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya