Rancangan KUHP yang Lebih Kuno Ketimbang Kolonial

Penulis

Selasa, 31 Mei 2022 06:06 WIB

Sejumlah mahasiswa dari universitas se-Bekasi menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis 26 September 2019. Mereka menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan DPR. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Editorial Tempo.co

Katanya, kata sebuah riwayat, seorang pemimpin Islam awal, Ali bin Abi Thalib, pernah mengatakan orang yang beruntung itu jika mendapatkan hari ini lebih baik dibanding kemarin. Agaknya, Indonesia jauh dari keberuntungan. Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana atau KUHP malah mundur dari apa yang dibuat oleh pemerintahan kolonial.

KUHP yang berlaku sekarang dibuat tahun 1946, yang mengadopsi begitu saja Wetboek van Strafrecht tahun 1881. Karena dibuat untuk mengatur penduduk pribumi, konsep aturan hukum ini mencurigai segala gerak-gerik penduduk Hindia Belanda agar tak merongrong kekuasaan pemerintah Belanda. Ada hukuman mati, perzinaan, hingga pasal pidana untuk penghina penguasa.

Ada 14 tema yang berbau kolonial dalam RKUHP yang seharusnya diperbaiki pemerintah dan DPR kita. Alih-alih mengubahnya dengan mengikuti perkembangan zaman, DPR malah mau mengesahkan rancangan yang dibuat pemerintah dengan menambah hukuman yang mengabaikan hak-hak asasi manusia. Misalnya, tentang penodaan agama, hidup bersama tanpa pernikahan, hingga pidana berbasis orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT.

Para pembuat hukum kita tak hanya kian konservatif, bahkan hendak membunuh keberagaman Indonesia. Mereka hendak menegakkan hukum yang berangkat dari pemikiran tunggal atau menginginkan keseragaman dengan memberangus perbedaan, ketika kini pemikiran dan konsep-konsep keberagaman berbasis hak asasi manusia kian maju.

Advertising
Advertising

Hukum memang perlu untuk harmoni hubungan sosial dengan tujuan membuat manusia berbahagia karena ada hukuman bagi kejahatan. Hukum yang rigid dan terlalu jauh mengatur hak privasi justru akan menghambat harmoni itu karena tak lagi menjadi pelindung bagi mereka yang tak berbuat jahat. Dus, hukum yang berlebihan akan mencederai demokrasi. Sementara demokrasi menuntut kebebasan individu. Jika mengkritik penguasa dipidanakan, demokrasi tumpas dengan sendirinya.

Itu kenapa protes publik meluas hingga pemerintah menghentikan pembahasannya bersama DPR pada 2019. Bukannya memperbaikinya selama tiga tahun terakhir, pemerintah sekadar menyalin draf lama dengan sedikit modifikasi tanpa perubahan krusial seperti yang diminta publik.

Modifikasi yang tak perlu itu, misalnya, perubahan nomor pasal pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Draf lama ada di pasal 218 dan 219, draf baru pindah ke nomor 134-135. Jika sebelumnya delik biasa, kini menjadi delik aduan. Artinya, pidana baru bisa diproses jika presiden dan wakil presiden mengadukan rakyatnya sendiri yang mereka anggap menghina jabatan publiknya.

Soalnya bukan pada delik aduan. Keseluruhan pasal penghinaan penguasa ini jelas kuno. Hanya penjajah yang memakainya. Hanya penguasa yang merasa tak memerlukan rakyat yang hendak menghukum rakyatnya sendiri karena mengkritiknya.

Menjadi politisi, menjadi presiden atau pejabat negara itu harus siap dikritik. Sepedas apa pun, sekurang ajar apa pun, rakyat boleh dan harus bebas mengutarakan pendapat mereka. Itulah esensi demokrasi. Itulah fungsi kontrol terhadap kekuasaan yang selalu cenderung korup. Jangan sampai presiden dan wakil presiden hanya memanfaatkan demokrasi untuk berkuasa tanpa mau menanggung lampirannya, yakni kritik rakyat yang dipimpinnya.

Indonesia bukan kerajaan. Indonesia bukan milik presiden. Republik ini punya seluruh rakyat Indonesia. Siapa pun yang berkuasa tak punya hak menghukum pemilik negara ini. Maka jika kini KUHP malah mengukuhkannya, hukum dibuat penguasa untuk melindungi mereka dari cemooh rakyat. Hanya pemerintah kolonial yang menghukum rakyat jajahannya untuk melindungi Ratu mereka nun di Belanda.

Apalagi pasal penghinaan presiden ini sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006. Jika kini Presiden Joko Widodo hendak mengembalikannya melalui KUHP, sungguh ia presiden paling buruk dalam sejarah Indonesia: berkuasa dengan melindungi diri melalui hukum yang dibuatnya sendiri.

Atau soal hukuman bagi mereka yang punya orientasi seksual berbeda. Kian banyak ahli genetika yang mengonfirmasi bahwa orientasi seksual adalah gen bawaan. Pembentukan kromosom laki-laki yang menyukai laki-laki sama prosesnya dengan pembentukan alel laki-laki yang menyukai perempuan. Jika mereka dihukum, apakah penjara bisa mengubah orientasi genetika mereka?

Soal-soal krusial ini hanya contoh dari sekian banyak hukuman yang tak berbasis kejahatan yang hendak diatur dalam KUHP. Setelah 77 tahun lepas dari penjajahan, pembuat hukum Indonesia tak kunjung bisa lepas dari sindrom penjajahan. Sistem pendidikan rupanya tak menghasilkan para pembuat hukum yang berpikir maju: mereka yang berkuasa dengan tujuan menciptakan kebahagiaan bagi semua orang. Sungguh Indonesia kurang beruntung.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya