Kenapa Tindakan Kekerasan oleh Polisi terhadap Pelaku Kejahatan Harus Dihentikan

Penulis

Senin, 25 April 2022 08:00 WIB

Ilustrasi Penyiksaan oleh Polisi atau Kekerasan oleh Polisi. shutterstock.com

Editorial Tempo.co

----

Aksi polisi menyiksa seseorang untuk mencari barang bukti atau memperoleh pengakuan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melanggar hak asasi manusia, mengorek informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalitas mereka. Kekerasan oleh polisi dalam pemeriksaan harus diakhiri—betapa pun orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan.

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, anggota Kepolisian Sektor Tembaleng, Bekasi ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap empat pemuda dalam kasus begal. Bukannya membawa ke kantor polisi, aparat malah menggiring mereka terlebih dulu ke Gedung Telkom yang berada di seberang Polsek Tambelang. Persoalan tambah serius karena membawa seseorang yang diduga melakukan kejahatan ke sebuah tempat transit merupakan tindakan ilegal.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh memilukan. Di situlah polisi diduga menyiksa mereka selama hampir delapan jam agar mengaku sebagai begal. Komnas HAM menyebut setidaknya ada sepuluh bentuk penyiksaan dalam penangkapan yang terjadi pada 28 Juli 2021 tersebut. Ada ancaman verbal, mata ditutup dengan lakban, pemukulan dengan tangan kosong di bagian tubuh dan wajah, pemukulan di bagian kepala menggunakan tali gantungan kunci, serta ditendang di bagian tubuh, kaki dan wajah.

Advertising
Advertising

Seperti yang sudah-sudah, Kepolisian berusaha menutup-nutupi peristiwa tersebut. Kepada Komnas HAM, polisi berdalih keempat pemuda tadi langsung dibawa ke kantor polisi tak lama setelah penangkapan. Belakangan terkuak: selembar foto yang menjadi bukti mereka langsung dibawa ke kantor polisi merupakan hasil rekayasa. Patut diduga, polisi telah memberikan keterangan palsu demi menutupi alibi bahwa tidak terjadi penyiksaan terhadap para korban.

Insiden ini menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan polisi. Aliansi Kerjasama untuk Pencegahan dan Penyiksaan (KuPP) menerima 115 aduan perihal penyiksaan dan perlakuan buruk polisi dari 2018 hingga 2020. Sepanjang tahun lalu, Komnas HAM mencatat ada 15 insiden penangkapan sewenang-wenang dan 24 kasus kriminalisasi warga alias korban salah tangkap.

Kepolisian sebenarnya punya aturan internal untuk mencegah penyiksaan terus berulang. Salah satunya lewat Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009. Aturan ini menyebutkan anggota polisi dilarang merendahkan terperiksa, termasuk menggunakan kekerasan fisik atau psikis, untuk memperoleh pengakuan. Polisi semestinya mengacu pada Peraturan Kapolri tersebut saat menjalankan interogasi.

Penyidik Kepolisian semestinya juga paham bahwa pengakuan tersangka hanya salah satu alat bukti saja. Menurut kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pengakuan tersangka bukan variabel terpenting dari pengungkapan kasus. Yang lebih penting adalah keterangan saksi dan dokumen lain yang mendukung adanya tindak pidana. Mereka semestinya mencari bukti lain untuk menguatkan penyidikan, bukan malah memaksakan pengakuan seseorang.

Memaksa seseorang mengakui perbuatan dengan menyiksa adalah tabiat aparat masa lalu yang harus ditinggalkan. Cara ini justru bisa menyebabkan polisi keliru dalam menentukan tersangka. Orang terpaksa mengaku bersalah karena tak kuat disiksa.

Melanggengkan cara-cara barbar dalam memeriksa seseorang menunjukkan bukti reformasi di tubuh Polri jalan di tempat. Sudah 20 tahun reformasi berlalu namun polisi masih memakai cara kuno untuk memperoleh pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih cekak.

Yang lebih celaka: polisi seolah-olah tidak menganggap penyiksaan masalah serius. Tak heran bila sanksi yang dijatuhkan kepada polisi yang melakukan tindakan penyiksaan tergolong ringan, bahkan ada juga yang tak diusut. Kasus penyiksaan saksi yang dipaksa mengakui kasus pembunuhan oleh penyidik di Polsek Percut Sei Tuan, Medan, pada Agustus 2020, misalnya, tak pernah diusut hanya karena korban mencabut laporan. Padahal, Kepolisian bisa mengusut kasus itu tanpa perlu laporan korban. Kekerasan oleh polisi juga kerap mengakibatkan korban cacat permanen, trauma, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa. Polisi harus memastikan keadilan bagi korban penyiksaan.

Sudah seharusnya polisi berbenah agar kekerasan tidak berulang. Bila ingin tetap disebut pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi main siksa.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya