Nobel Perdamaian Maria Ressa dan Kebebasan Pers

Penulis

Senin, 11 Oktober 2021 09:15 WIB

Maria Ressa, Chief Executive Officer Rappler menyatakan tak gentar meski ancaman datang bertubi-tubi karena kritiknya terhadap Presiden Duterte.

TIDAK mudah menjadi jurnalis hari ini. Selain harus menjernihkan informasi di tengah serbuan kabar bohong yang menyebar begitu cepat lewat dunia maya, para wartawan menghadapi represi penguasa yang tak ingin manipulasi politiknya terbongkar. Dengan situasi ini, panitia Nobel menganugerahkan Nobel Perdamaian 2021 kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov.

Ressa adalah pendiri Rappler, situs berita Filipina yang bermula dari halaman Facebook pada 2011, yang membongkar dalih perang melawan narkoba Presiden Rodrigo Duterte melalui pembunuhan di luar hukum bagi siapa saja yang dianggap bandar dan pengedar narkotika. Sementara Muratov memimpin Novaya Gazeta, koran liberal Rusia yang kritis kepada otoritarianisme Presiden Vladimir Putin.

Ressa secara terbuka mengkritik kebijakan-kebijakan Duterte. Karena kritiknya ia diteror bahkan masuk penjara atas tuduhan fitnah. Muratov harus menghadapi kenyataan enam koleganya dibunuh dalam satu dekade terakhir karena mengkritik Putin.

Kekerasan kepada wartawan tak hanya terjadi di Rusia atau Filipina. Menurut catatan Komisi Perlindungan Wartawan, sebuah LSM di New York, jurnalis yang dibunuh pada 2020 dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Lebih dari 270 wartawan—tertinggi dalam tiga dekade terakhir—masuk penjara karena membongkar berbagai kecurangan dan kejahatan negara.

Di Indonesia, jumlahnya jauh lebih gawat. Aliansi Jurnalis Independen mencatat selama 2006-2021 ada 878 kasus kekerasan menimpa jurnalis. Dari serangan digital, kekerasan fisik, teror dan intimidasi, hingga tuntutan hukum. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi senjata ampuh bagi pemerintah maupun para pelaku kejahatan menyerang tugas para jurnalis dan organisasi masyarakat sipil.

Advertising
Advertising

Kasus terakhir adalah peretasan Project Multatuli, platform berita yang mengkhususkan pada advokasi mereka yang lemah, setelah memuat keputusan polisi menghentikan penyelidikan kasus perkosaan oleh seorang ayah kepada tiga anaknya di Luwu Timur. Atau aktivis hak asasi manusia yang mengungkap motif finansial para pejabat negara memakai pendekatan militer di Papua dan penguasaan sumber daya alam melalui undang-undang.

Dari Panitia Nobel kita bisa belajar bahwa kebebasan pers layak diperjuangkan, sebagai syarat utama merawat demokrasi. Tanpa kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, demokrasi akan menjadi cara legal bagi politikus menyalahgunakan kekuasaan. Dalam negara yang makin represif, pers menjadi kekuatan terakhir untuk mengimbanginya. Tanpa pers yang kuat, negara akan cenderung semena-mena.

Sebab, negara dan pemerintahannya memiliki semua perangkat yang dibutuhkan untuk manipulasi: kewenangan mengubah hukum, intelijen, anggaran. Bahkan kini ada satu kekuatan yang mendelegitimasi peran media: buzzer atau pendengung yang mengacaukan informasi bahkan menyebarkan disinformasi.

Tugas pers adalah menjernihkan informasi dan duduk soal. Seperti di Filipina, dalih Presiden Duterte dalam perang melawan narkoba akan mendapatkan simpati jika Maria Ressa dan para wartawan di sana tak gigih menunjukkan bahwa niat baik itu memakai cara melanggar hukum dan hak asasi. Publik akan mendaku narasi tunggal Duterte yang sama jahatnya dengan bandar narkoba.

Dunia yang kacau kian membutuhkan pers yang independen. Nobel Perdamian untuk dua wartawan—pertama dalam 86 tahun sejarah Nobel—mengingatkan bahwa pers menjadi pilar penting menopang perdamaian dan peradaban hari ini dan masa depan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

26 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

38 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

54 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

54 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya