Kenapa Mesti Cari Panggung?

Penulis

Idham Cholid

Senin, 27 September 2021 15:00 WIB

Ekspresi vokalis God Bless Achmad Albar, saat melakukan latihan gladi resik menjelang konser God Bless Panggung Sandiwara, di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, 6 Agustus 2015. TEMPO/Imam Sukamto

Kali ini saya akan “bermusik”. Jangan salah, jujur saja, saya sebenarnya paling gak bisa nyanyi. Saya hanya penikmat saja. Ini pun tergolong pasif.

Bermusik, bagi saya, menghayati lagu dan liriknya. Paling tidak, tau juga siapa yang membawakannya. Kalau ditanya, jenis musik apa yang disuka? Hampir semua genre musik saya suka. Kalau dangdut, tentu Rhoma Irama. Dari kecil juga sudah sering nonton film-filmnya.

Yang lain? Pokoknya yang berkarakter. Baik lagu, lirik, maupun karakter suara penyanyinya. Sangat banyak jika disebutkan. Salah satunya, Ahmad Albar. Dia tergolong musisi sepuh, seumuran dengan Rhoma Irama, yang saya kagumi. Usianya kini sudah menginjak 75 tahun.

Tentu bukan hanya karena dia seorang habib, di mana sejak kecil saya selalu diajarkan untuk “mencintai” habaib. Bukan pula karena dia mempunyai ayah sambung bernama Jamaludin Malik (ayah kandung Camelia Malik), tokoh NU pelopor perfilman nasional dan penggagas FFI. Bukan sekadar karena soal ke-NU-an itu.

Panggung Sandiwara

Advertising
Advertising

Yang pasti, Iyek—demikian Ahmad Albar biasa disapa—tergolong musisi langka. Iyek atau Ayik, tak lain, panggilan sayang untuk sayyid ketika masih kanak-kanak. Sayyid Ahmad Syekh Albar, nama lengkapnya, di mata saya mempunyai karakter khas. Lagu, lirik dan musiknya sangat mengena. Apalagi ketika dia bawakan lagu Panggung Sandiwara. Syairnya, sungguh luar biasa.

Maklum, lirik itu diciptakan Taufiq Ismail. Sastrawan Angkatan 66 asal Bukittinggi itu memang dikenal dengan karya-karyanya yang sarat makna. Puisi-puisinya inspiratif, menggugah kesadaran terdalam keberagamaan kita. Tak sedikit juga yang kemudian dilantunkan musisi kenamaan. Sebut saja, Bimbo, Chrisye, dan bahkan Rocker Ucok Harahap, pernah melantunkannya.

Panggung Sandiwara diciptakannya pada 1977. Saat itu, Ahmad Albar membawakannya pada 1978 ketika masih tergabung dalam group band “Duo Kribo” bersama Ucok Harahap. Kita tau, keduanya memang berambut kribo, gaya trendy 1970an, sebagaimana juga Michael Jackson sebelum bertransformasi.

Apa makna terdalam dari lagu tersebut? Taufiq Ismail meminjam suara Iyek untuk menyampaikan pesan akan pentingnya mempunyai kesadaran bahwa dunia ini memang permainan. “Dan kehidupan dunia tak lain adalah permainan dan sendau gurau.” Demikian firman-Nya (Qs. al-An'am: 32).

Saya meyakini, dari sanalah Sang Penyair itu mencipta karya Panggung Sandiwara. Dengan nada bertanya, “Mengapa kita bersandiwara?” yang diulang-ulang hingga 13 kali, pesannya sangat jelas. Bahwa kita harus mempunyai “konsistensi“ dalam kehidupan dunia yang memang hanya permainan belaka.

Permainan dan senda gurau, sebagaimana ayat di atas, ditafsirkannya sebagai sandiwara. Sedang kehidupan dunia, dengan segala pernak-perniknya, merupakan panggungnya.

Istilah sandiwara itu sendiri diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII (1916-1944), bangsawan Surakarta yang berpandangan modern, yang telah berkonstribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa.

Terambil dari bahasa Jawa, Sandhi berarti rahasia, sedang Warah artinya pelajaran. Sandiwara dengan demikian dimaksudkan sebagai pelajaran yang diberikan secara rahasia atau diam-diam (Herman J. Waluyo, 2002). Sering juga kemudian disebut drama, lakon, atau pertunjukan teater. Ada yang bersifat tragedi, horor, komedi, atau roman dan percintaan.

Tahun 1980-an, misalnya, sangat populer sandiwara Saur Sepuh yang menjadi legenda terbesar dari sandiwara radio di Indonesia. Ceritanya, mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, kerajaan Hindu Budha terbesar di Nusantara.

Karena kesuksesannya, pada 1987 sutradara Tantowi Yahya kemudian mengangkatnya dalam layar lebar. Kita pun mengenal tokoh utamanya yaitu Brama Kumbara yang diperankan Fendy Pradana dan Murti Sari Dewi yang memerankan Lasmini.

Makna rahasia atau diam-diam dari definisi sandiwara itu, bukan berarti diam tanpa suara atau rahasia sebagai sesuatu yang disembunyikan. Namun dalam setiap lakon yang bernama sandiwara itu, apapun bentuknya, pastilah terkandung makna di dalamnya.

Panggung sandiwara, ludruk sekalipun atau yang beberapa tahun terakhir ini ngetrend seperti stand up comedy misalnya, selalu membawa pesan mendalam. Tak cukup mengandalkan kepintaran saja untuk bisa menangkap maknanya.

Atau, yang saat ini tengah digandrungi emak-emak, yang tayang setiap habis isya', seperti Ikatan Cinta adalah juga sandiwara dalam bentuk terkini. Sinetron yang diperankan Amanda Manopo sebagai Andini dan Arya Saloka sebagai Mas Al itu, bahkan memperoleh rekor MURI sebagai sinetron prime time terpopuler, berhasil mendapatkan audience share nasional tertinggi, di atas 40 persen berturut-turut dalam 100 hari di awal penayangannya. Dalam soal ini, ia hanya kalah dengan pertandingan final Liga Champions UEFA 2020-2021, antara Manchester City vs Chelsea, pada 30 Mei yang lalu.

Itulah sandiwara yang sebenarnya. Sandiwara sebagai “profesi”, dilakonkan para pemain profesional dengan segala totalitasnya, selain untuk meraup keuntungan, jelas di dalamnya juga ada kepentingan. Meski dinilai sebagai sinetron yang (maaf) lebay sekalipun, sandiwara itu tetap punya makna.

Bungen Tuwo

Namun, terhadap pertanyaan “Mengapa kita bersandiwara?” justru mempertanyakan setiap gerak dan langkah yang diperankan dalam panggung kehidupan nyata. Disadari atau tidak, hal itu akan mempunyai dampak dan konsekuensi tersendiri.

“Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura”. Demikian dijelaskan, merupakan peran dimaksud. Peran nyata dalam panggung politik, misalnya. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, peran wajar itu merupakan peran yang harus dimainkan oleh masing-masing pihak sesuai tupoksinya. Baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Itulah representasi “negara” yang memang mempunyai tanggungjawab besar terhadap seluruh warga bangsa, tanpa kecuali. Tanggungjawab untuk melindungi, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan, sesuai amanat konstitusi.

Peran wajar itu tak lain peran dengan penuh pertanggungjawaban. Ada akuntabilitas yang tak sekadar untuk memenuhi standar formal prosedural. Lebih penting dari sekadar itu, memenuhi rasa keadilan publik. “Negara” benar-benar hadir mengayomi, melindungi, dan memenuhi “aspirasi” masyarakat. Bukan sebaliknya. Apalagi dalam situasi pandemi saat ini.

Yang paling sederhana saja, misalnya, bagaimana Legislatif terutama di tingkat daerah—yang bersentuhan langsung dengan masyarakat—lebih proaktif menyelesaikan berbagai keluhan dan kesulitan. Tidak justru menghilang ketika masyarakat datang. Memfasilitasi penyelesaian persoalan yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat vis-a-vis pemerintah juga merupakan bagian dari tugas pengawasan yang harus dilakukan.

Demikian pula eksekutif. Namanya juga eksekutif, ya harus mempunyai “nyali” untuk melakukan langkah-langkah eksekusi. Menjadi pemimpin eksekutif khususnya, tentu harus cerdas membaca persoalan. Kecerdasannya akan diuji, bukan hanya karena kelihaiannya meraih dan mempertahankan jabatan. Kecerdasan pemimpin, salah satunya, justru ditentukan dalam hal kecepatan dan ketepatan mengambil keputusan.

Tanpa itu, hanya akan menyimpan “bom waktu” yang bisa meledak setiap saat. Apalagi jika jelas-jelas membiarkannya. Seorang pemimpin, di level manapun, jangan sekali-kali berkeyakinan bahwa masalah akan selesai dengan menunda dan membiarkannya. Ini keyakinan yang keliru.

Terhadap berbagai suara masyarakat, yang sumbang sekalipun, tak boleh diabaikan. Apapun, suara masyarakat harus didengarkan. Jika tak mau, ya jangan jadi pemimpin. Titik! Bersikap abai atau hanya “bungen tuwo” (mlebu kuping tengen, metu kuping kiwo; masuk telinga kanan, keluar telinga kiri) terhadap setiap kritik, saran, dan masukan, justru akan dapat memunculkan dampak yang berkepanjangan.

Apalagi jika salah menilai. Menganggap setiap “gerakan” masyarakat, sekecil apapun itu, hanya sekadar mencari panggung dan sensasi, jelas akan sangat kontra produktif. Menurut saya, kenapa mesti cari panggung? Justru masyarakat telah dibuatkan panggung tersendiri secara khusus oleh pemimpinnya yang bungen tuwo itu!

Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara?

Kalisuren, 26 September 2021

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya