Jackson memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1828. Ia terpilih menjadi presiden ketujuh. Jackson ingin menciptakan sistem yang lebih efisien. Untuk itu pegawai publik harus patuh pada perintah yang lebih tinggi. Politik sistem rampasan (spoil system) diterapkan. Para pendukung dalam pemenangan, terutama loyalis, ditempatkan dalam posisi-posisi pemerintahan dan entitas pelayanan publik.
Politik ini beraakar pada doktrin “to the victor belong the spoils”. Kata-kata ini dipopulerkan oleh Senator Marcy yang merujuk pada kemenangan Jackson. Rampasan yang dimaksud adalah sesuatu yang diambil dari pihak yang kalah dalam suatu persaingan, semisal peperangan.
Ketika pemilihan presiden dianalogikan dengan suatu perang, maka pemenang berhak menempatkan semua pendukumg pada posisi semua lini pemerintahan. Posisi-posisi dalam pekerjaan sektor publik adalah rampasan untuk pemenang.
Politik perampasan adalah suatu sistem patronase yang lazim dikenal di partai politik. Ketika sistem ini diterapkan di pemerintahan, maka nepotisme dan sistem kroni dibenarkan demi alasan bahwa pemerintahan yang efisien memerlukan sistem komando. Untuk itu loyalitas tinggi terhadap atasan menjadi syarat.
Kantor Pos, departemen terbesar di pemerintah federal, tak luput dari dampak penerapan doktrin tersebut. Dalam satu tahun, 423 pegawai pos dengan catatan kinerja baik harus kehilangan posisi mereka akibat doktrin yang diterapkan oleh Presiden Jackson. Netral, berkinerja baik, dan bertahan hanyalah sebuah kebetulan dalam suatu spoil system.
Dalam perbincangan politik di Indonesia, kita sering mendengar bagaimana para kepala daerah terpilih kemudian mengganti pejabat daerah dengan orang yang dianggap telah mendukung pemenangan atau setidaknya memiliki loyalitas politik. Para kordinator relawan kemudian ditempatkan sebagai komisaris BUMD.
Di masa kini, politik perampasan sudah lebih maju dan rumit untuk diatasi. Mereka bahkan telah menggunakan instrumen-instrumen merit sedemikian rupa untuk menyingkirkan pegawai dari posisi tertentu, termasuk dalam menempatkan para loyalis secara formil.
Pahlawan atau Penjahat?
Garfield terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang kedua puluh. Nasib berbicara lain. Guiteau, seorang pendukung yang tak berhasil mendapatkan kompensasi berupa posisi dalam pekerjaan di pemerintah, merasa kecewa dan sangat sakit hati. Ia kemudian membunuh sang presiden terpilih.
Situasi ini membuat semua orang tersentak. Pendleton, Senator asal Ohio, menggaungkan tentang mendesaknya reformasi kepegawaian di sektor publik. Pada tahun 1883, Kongres mengesahkan sebuah undang-undang untuk mereformasi hal tersebut. Civil Service Commission dibentuk untuk menjalankan suatu sistem rekrutmen berbasis ujian seleksi secara bertahap. Undang-Undang ini kemudian dikenal dengan Pendleton Act.
Dalam perspektif realisme ekstrem, Guiteu mungkin bisa dilihat sebagai seorang pahlawan reformasi kepegawaian Amerika Serikat. Bagaimana tidak, tindakannya telah memicu suatu perubahan besar yang menyelamatkan birokrasi Amerika Serikat dari masa politik kasar yang diwariskan oleh presiden ketujuh mereka selama puluhan tahun.
Namun kita tak bisa mengabaikan etika atau nilai-nilai dasar dalam hidup ini, meski dalam politik sekalipun. Maka Guiteu harus dilihat sebagai suatu tragedi memilukan dalam sejarah kenegaraan Amerika Serikat, ketika sebuah kemajuan ternyata harus dipicu oleh tindakan yang tak beradab. Sejarah terkadang memilih jalannya sendiri.
Bandung, 15 Septmber 2021