Otonomi Khusus dan Hak Politik Orang Papua

Senin, 5 Juli 2021 09:33 WIB

Sejumlah massa memakai pakaian adat saat melakukan aksi dukungan terkait otonomi khusus (otsus) Papua, di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Senin, 1 Maret 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat

Proses revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua terus bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat. Dari sejumlah daftar inventarisasi masalah atau DIM yang dikemukakan oleh fraksi-fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah terhadap usulan perubahan dari Pemerintah, tampak sejumlah isu yang selama ini menjadi tuntutan rakyat Papua telah diupayakan untuk diakomodir. Apa yang dibahas Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua tidak hanya terbatas pada usulan Pemerintah, tetapi juga usulan-usulan lain dari masyarakat Papua yang diserap oleh fraksi-fraksi di DPR dan DPR

Sebut saja soal kewenangan provinsi. Beberapa fraksi mendorong agar topik ini dibahas. Ketua Pansus Otonomi Khusus Papua di DPR, Komarudin Watubun, beberapa kali menekankan pentingnya kewenangan ini diatur dalam perubahan kedua Undang-Undang Otsus Papua. Kendati pasal 4 Undang-Undang Otsus Papua mengatur bahwa provinsi-provinsi di wilayah Papua memiliki semua kewenangan pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, fiskal dan moneter, sistem yudisial, dan agama; namun dalam praktiknya banyak undang-undang sektoral diterapkan di wilayah Papua tanpa mempertimbangkan bahwa ini adalah daerah dengan otonomi khusus.

Bagaimana dengan persoalan hak politik Orang Asli Papua? Ketika Undang-Undang Otsus Papua dibentuk pada tahun 2001, rupanya tidak diduga bahwa migrasi masuk yang luar biasa dari seluruh nusantara ini akan mengakibatkan berubahnya landskap kependudukan di Papua. Hasil sensus penduduk tahun (SP) 2010 oleh BPS menunjukkan bahwa penduduk kota Jayapura dan kabupaten-kabupaten seperti Merauke, Keerom, Nabire dan Mimika sudah dikuasai kaum migran. Orang asli Papua menjadi minoritas di provinsi sendiri. Di Provinsi Papua Barat, orang asli Paua hanya dominan di Pegunungan Arfak, Tambrauw dan Maybrat, serta mungkin Teluk Wondama. Wilayah lain sudah didominasi pendatang.

Tak heran kalau hasil Pemilu Legislatif 2014 kurang menunjukkan keterlibatan orang asli Papua. Di Kabupaten Merauke, dari 30 anggota DPRD, mungkin hanya tiga orang asli Papua. Di Kota Sorong, hanya lima orang orang asli Papua dari 30 anggota DPRD. Di Kota Jayapura, diperkirakan hanya sepuluh orang dari 40 orang anggota Dewan. Di DPR Provinsi Papua Barat, jumlah orang asli Papua yang berasal dari partai sesungguhnya lebih sedikit. Untung saja ada kebijakan keanggotaan DPRD melalui pengangkatan orang asli Papua.

Orang asli Papua yang minoritas di dewan perwakilan rakyat, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, jelas tidak kondusif bagi pelaksanaan otonomi khusus Papua. Semua pihak tidak boleh lupa, bahwa Otonomi khusus Papua adalah kebijakan afirmatif yang diberikan negara. Melalui otonomi khusus harus diberlakukan kebijakan yang melindungi, berpihak pada, dan memberdayakan orang asli Papua. Selain itu, dana yang lebih besar yang akan diturunkan oleh pemerintah pusat mulai tahun 2022 - 2042 hanya masuk akal apabila dibahas peruntukannya oleh orang asli Papua yang dominan di lembaga perwakilan rakyat. Merekalah yang tahu apa pergumulan yang dihadapi oleh saudara-saudaranya sesama orang asli Papua dari hari ke hari.

Prinsip yang sama juga seharusnya berlaku untuk jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Untuk jabatan gubernur dan wakil gubernur sudah diatur tegas. Tetapi bagaimana dengan bupati dan wakilnya serta walikota dan wakilnya?

Advertising
Advertising

Apakah ini berarti mendiskriminasi masyarakat pendatang? Sama sekali tidak. Lihatlah definisi orang asli Papua di Undang-Undang Otsus Papua: “…Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Dari definisi tersebut, warga pendatang pun tetap bisa menjadi anggota parlemen daerah atau kepala daerah. Tetapi, mereka harus terlebih dahulu diterima dan diakui sebagai orang asli Papua. Siapa yang berhak menerima dan mengakui? Ya, masyarakat adat di mana orang itu mengafiliasi dirinya. Seluruh masyarakat adat dari suku itu harus memutuskan. Prinsip-prinsipnya bisa dipelajari dari Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 29/PUU-IX/2011, tanggal 20 September 2011.

Tidak ada yang akan dirugikan ketika hak-hak politik orang asli Papua dilindungi dan diberdayakan. Justru dengan cara ini, kebhinekaan bisa dirawat.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya