Kebiasaan Lama Membentuk Lembaga Baru

Penulis

Rabu, 22 Juli 2020 07:56 WIB

LANGKAH pemerintah membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan mengalihkan fungsinya ke Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi patut dipertanyakan. Kebijakan ini kembali menunjukkan kebiasaan lama: ketika penanganan suatu persoalan gagal, pemerintah memilih jalan keluar dengan membentuk lembaga baru.

Pemerintah sebenarnya sudah punya kementerian dan lembaga yang berkaitan langsung dengan penanganan wabah Covid-19 dan dampaknya. Sejak awal, Kementerian Kesehatan semestinya menjadi panglima perang melawan wabah. Sedangkan dalam pemulihan ekonomi yang rontok akibat pandemi, kementerian di bidang ekonomi semestinya memainkan peran strategis. Alih-alih mengoptimalkan peran lembaga yang ada, Presiden Joko Widodo malah membentuk lembaga baru yang berpotensi memperuwet birokrasi.

Dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai ketua dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir selaku ketua pelaksana, keberadaan Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi menimbulkan tanda tanya: apakah dengan begitu menteri-menteri lain harus tunduk kepada dua menteri ini? Struktur itu juga tidak lazim karena memposisikan menteri koordinator bidang lain di bawah Airlangga.

Penanganan Covid-19, yang mestinya dipimpin otoritas medis, juga seperti kembali didegradasi di bawah kepentingan ekonomi. Gambaran tersebut tecermin dari peleburan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 ke dalam Komite Kebijakan sebagai satuan tugas yang bertanggung jawab kepada ketua pelaksana dan ketua komite.

Sejak awal, pemerintah memang kurang memberi tempat pada sains dalam penanganan pandemi ini. Otoritas medis yang ada pun—Kementerian Kesehatan—kurang dipercaya karena dianggap menyembunyikan data yang sebenarnya. Keberadaan Komite Kebijakan berpotensi makin menjauhkan pertimbangan epidemiologis dalam penanganan Covid-19 dengan mendahulukan pertimbangan ekonomi.

Advertising
Advertising

Ketimbang membentuk lembaga baru, Presiden seharusnya mengganti pejabatnya jika lembaga yang mereka pimpin tidak mampu membenahi persoalan. Kegagalan sejumlah menteri dalam merespons wabah lebih awal atau leletnya mereka dalam mengeksekusi program semestinya diikuti perombakan kabinet. Kemarahan Jokowi terhadap para pembantunya beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa sejumlah menteri memang tidak becus menjalankan tugasnya. Tapi kemarahan itu tak banyak gunanya karena Jokowi tak mengganti pejabat lama dengan orang baru yang lebih berkompeten.

Pembentukan lembaga baru untuk mengatasi persoalan lama justru menunjukkan pemerintah gagal membangun sistem. Sudah saatnya pemerintah menghentikan kebiasaan buruk itu. Daripada membentuk lembaga ad hoc yang berpotensi tumpang-tindih, pemerintah lebih baik memperbaiki sistem untuk jangka panjang. Di antaranya dengan menerapkan sistem meritokrasi dan indikator kinerja yang jelas. Dalam jangka pendek, Jokowi seharusnya tidak ragu mengganti menteri atau pimpinan lembaga yang tidak cakap bekerja.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya