Normal

Penulis

Putu Setia

Sabtu, 30 Mei 2020 07:00 WIB

Putu Setia
@mpujayaprema

Ada wabah baru di dunia kata-kata. New normal. Istilah ini adalah tatanan kehidupan baru ketika kita tak bisa mengalahkan virus corona. Kita harus hidup berdampingan secara damai karena virus ini diprediksi tak bisa hilang. Supaya virus tak masuk ke tubuh, hiduplah dengan cara baru. Apa itu? Mohon jangan bosan mendengar. Cuci tangan dengan sabun, pakai masker kalau ke luar rumah, jaga jarak aman minimal satu meter, hindari kerumunan.

Rencana menuju kehidupan normal baru itu dibahas dalam rapat kabinet. Presiden Joko Widodo meminta semua menterinya menyiapkan aturan. Menteri Kesehatan menerbitkan keputusan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri. Aturan yang sangat rinci. Bagaimana cara masuk kantor atau pabrik, vitamin apa yang diminum, apa yang harus dilakukan saat batuk. Menteri Pariwisata tak kalah gesit, langsung mengontak pimpinan maskapai Garuda untuk siap-siap menerbangkan wisatawan ke Bali. Semua menteri ambil ancang-ancang untuk menggerakkan perekonomian agar tidak mandek. Para pengusaha siap membuka mal. Sekolah dijadwalkan akan dibuka kembali. Kehidupan harus bergeliat, tidak boleh berhenti hanya gara-gara virus jahanam yang tak mau kalah total itu.

Tapi masyarakat banyak tak paham, bahkan heran dan bertanya-tanya. Kenapa membeli cabai di pasar harus menjaga jarak dengan pedagangnya? Kenapa kalau suami menyetir mobil, istrinya harus duduk di belakang? Kenapa bersembahyang tak boleh berdampingan, harus berjarak semeter? Lalu, kalau bermain sepak bola, tak boleh dong mendekati lawan yang menggiring bola? Pertandingan tinju juga punah, bagaimana memukul lawan harus berjarak satu meter? Menonton konser dangdut pun tak bisa nyaman bergoyang.

Bukankah itu kehidupan yang tidak normal? Kenapa tata kehidupan yang tak normal itu disebut normal baru, bukannya abnormal? Serangkaian pertanyaan ini akan sulit dijawab kalau kita tak bisa menjelaskan bahwa normal baru itu sesungguhnya juga bukan tatanan kehidupan yang kita kehendaki. Tujuan ideal adalah normal, tanpa pakai baru atau lama.

Advertising
Advertising

Barangkali kita tergesa-gesa mau menggerakkan ekonomi dengan cepat, sementara wabah virus corona belum ada tanda-tanda berakhir. Ini memang dilema besar. Semakin lama perekonomian mati suri, semakin besar bahaya mengancam. Krisis mahadahsyat bisa terjadi. Namun, kalau kita berlama-lama memerangi wabah ini tanpa kepastian, krisis juga sangat dahsyat. Semakin banyak orang terkena dampak secara ekonomi, semakin banyak rakyat yang harus dibantu dengan sembako. Sudah pasti imbauan jangan ke luar rumah tak akan digubris karena orang harus bekerja untuk cari makan. Maju kena, mundur kena. Padahal cara memutus penyebaran Covid-19 itu adalah "di rumah saja".

Suara para pengamat kesehatan mungkin perlu didengarkan. Kita perlu bersabar sedikit, namun harus bersikap lebih tegas. Bersabar dalam menunda ke arah new normal. Kalau kasus positif belum turun setidaknya 50 persen selama dua minggu sejak puncak terakhir, jangan dulu mimpi ke arah new normal. Virus harus benar-benar bisa dikendalikan dengan tingkat penularan yang rendah. Itu hanya terjadi dengan pengawasan yang lebih tegas melarang lalu lintas orang. Apalagi orang dari zona merah ke zona yang sudah hijau. Jika virus sudah terkendali di suatu daerah, di sana boleh diterapkan new normal yang suatu saat targetnya tetap normal, tanpa pakai new lagi.

Ojo grusa-grusu, kata orang Jawa. Tingkat penularan masih tinggi. Belum saatnya berdampingan dengan musuh yang bernama corona.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

6 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

27 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

35 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

39 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

54 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

55 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya