Putu Setia
@mpujayaprema
Ada wabah baru di dunia kata-kata. New normal. Istilah ini adalah tatanan kehidupan baru ketika kita tak bisa mengalahkan virus corona. Kita harus hidup berdampingan secara damai karena virus ini diprediksi tak bisa hilang. Supaya virus tak masuk ke tubuh, hiduplah dengan cara baru. Apa itu? Mohon jangan bosan mendengar. Cuci tangan dengan sabun, pakai masker kalau ke luar rumah, jaga jarak aman minimal satu meter, hindari kerumunan.
Rencana menuju kehidupan normal baru itu dibahas dalam rapat kabinet. Presiden Joko Widodo meminta semua menterinya menyiapkan aturan. Menteri Kesehatan menerbitkan keputusan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri. Aturan yang sangat rinci. Bagaimana cara masuk kantor atau pabrik, vitamin apa yang diminum, apa yang harus dilakukan saat batuk. Menteri Pariwisata tak kalah gesit, langsung mengontak pimpinan maskapai Garuda untuk siap-siap menerbangkan wisatawan ke Bali. Semua menteri ambil ancang-ancang untuk menggerakkan perekonomian agar tidak mandek. Para pengusaha siap membuka mal. Sekolah dijadwalkan akan dibuka kembali. Kehidupan harus bergeliat, tidak boleh berhenti hanya gara-gara virus jahanam yang tak mau kalah total itu.
Tapi masyarakat banyak tak paham, bahkan heran dan bertanya-tanya. Kenapa membeli cabai di pasar harus menjaga jarak dengan pedagangnya? Kenapa kalau suami menyetir mobil, istrinya harus duduk di belakang? Kenapa bersembahyang tak boleh berdampingan, harus berjarak semeter? Lalu, kalau bermain sepak bola, tak boleh dong mendekati lawan yang menggiring bola? Pertandingan tinju juga punah, bagaimana memukul lawan harus berjarak satu meter? Menonton konser dangdut pun tak bisa nyaman bergoyang.
Bukankah itu kehidupan yang tidak normal? Kenapa tata kehidupan yang tak normal itu disebut normal baru, bukannya abnormal? Serangkaian pertanyaan ini akan sulit dijawab kalau kita tak bisa menjelaskan bahwa normal baru itu sesungguhnya juga bukan tatanan kehidupan yang kita kehendaki. Tujuan ideal adalah normal, tanpa pakai baru atau lama.
Barangkali kita tergesa-gesa mau menggerakkan ekonomi dengan cepat, sementara wabah virus corona belum ada tanda-tanda berakhir. Ini memang dilema besar. Semakin lama perekonomian mati suri, semakin besar bahaya mengancam. Krisis mahadahsyat bisa terjadi. Namun, kalau kita berlama-lama memerangi wabah ini tanpa kepastian, krisis juga sangat dahsyat. Semakin banyak orang terkena dampak secara ekonomi, semakin banyak rakyat yang harus dibantu dengan sembako. Sudah pasti imbauan jangan ke luar rumah tak akan digubris karena orang harus bekerja untuk cari makan. Maju kena, mundur kena. Padahal cara memutus penyebaran Covid-19 itu adalah "di rumah saja".
Suara para pengamat kesehatan mungkin perlu didengarkan. Kita perlu bersabar sedikit, namun harus bersikap lebih tegas. Bersabar dalam menunda ke arah new normal. Kalau kasus positif belum turun setidaknya 50 persen selama dua minggu sejak puncak terakhir, jangan dulu mimpi ke arah new normal. Virus harus benar-benar bisa dikendalikan dengan tingkat penularan yang rendah. Itu hanya terjadi dengan pengawasan yang lebih tegas melarang lalu lintas orang. Apalagi orang dari zona merah ke zona yang sudah hijau. Jika virus sudah terkendali di suatu daerah, di sana boleh diterapkan new normal yang suatu saat targetnya tetap normal, tanpa pakai new lagi.
Ojo grusa-grusu, kata orang Jawa. Tingkat penularan masih tinggi. Belum saatnya berdampingan dengan musuh yang bernama corona.