Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Cadangan devisa mendapat sorotan publik saat wabah Covid-19 berjangkit di Indonesia. Intervensi trisula Bank Indonesia (BI) di pasar spot, pasar sekunder surat berharga, dan domestic non-deliverable forward (DNDF) menguras cadangan devisa BI setidaknya Rp 300 triliun.
Seberapa kuat BI konsisten hadir mengawal rupiah di pasar uang? Selama tiga bulan pertama tahun ini saja, cadangan devisa merosot US$ 10 miliar menjadi "hanya" US$ 120 miliar, meski naik sedikit pada April setelah pemerintah menerbitkan obligasi pandemi di pasar finansial luar negeri.
Berharap pemegang devisa ikut "intervensi" di pasar valuta asing belum bisa diandalkan. Dalam sistem devisa bebas, valuta asing lebih banyak dipegang masyarakat luas. Partisipasi mereka melulu soal untung-rugi ketimbang nasionalisme.
Lagi pula, Undang-Undang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar tidak mewajibkan pemilik valuta asing menyerahkannya kepada BI. Peraturan BI Nomor 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah juga hanya mengatur kewajiban pelaporan.
Maka, hanya cadangan devisa yang dipegang BI-lah yang bisa segera dipergunakan untuk tujuan sterilisasi pasar. Adapun total cadangan devisa dapat dipantau dari neraca pembayaran, cadangan devisa BI yang dilaporkan pada sisi aktiva neraca keuangan BI.
Data mana pun yang dirujuk, besaran cadangan devisa menjadi indikator yang memberi rasa aman bagi pemain asing untuk "masuk". Contoh konkretnya, George Soros memutuskan untuk «keluar» dari Indonesia menjelang krisis moneter 1997/1998 lantaran cadangan devisa BI dipandang sangat rendah.
Persoalannya persis «telur dengan ayam». Stabilitas nilai rupiah mengundang arus masuk devisa ataukah ketersediaan cadangan devisa untuk intervensi pasar yang mendorong stabilitas rupiah. Masing-masing logika memiliki probabilitas yang sama untuk berlaku dengan implikasi yang berbeda.
Logika mana pun yang dianut, akumulasi cadangan devisa menjadi jalan yang paling aman. Pemupukan cadangan devisa sejatinya sudah lama didengungkan. Aliran merkantilisme pada abad ke-16 mengklaim suatu negara akan sejahtera jika mampu mengumpulkan cadangan devisa dalam jumlah yang substansial.
Dengan alur logika ini pula, muncul wacana agar BI menambah cadangan emasnya. Usul tersebut masuk akal. Mengikuti definisi Dana Moneter Internasional (IMF), cadangan devisa mencakup aset dalam mata uang asing yang tersedia setiap saat dan dikendalikan dengan pertimbangan tertentu oleh otoritas moneter (biasanya bank sentral).
Argumen praktis pun mendukung. Pada saat pasar finansial global dilanda pandemi corona, harga logam mulia, yang dianggap sebagai aset berisiko minimum, terus mengalami tren peningkatan. Walhasil, penambahan cadangan emas yang dipegang BI bisa menguntungkan.
Namun beberapa faktor juga perlu dipertimbangkan. Pertimbangan pertama ialah likuiditas. Memegang emas tidak selikuid mata uang asing. BI bisa keteteran jika sewaktu-waktu harus mengeluarkan valuta asing. Penjualan cadangan emas tidak bisa sekejap mengubahnya menjadi valuta asing tunai.
Faktor kedua ialah risiko. Dahulu tidak ada cerita harga emas turun. Sekarang zaman sudah berubah. Harga emas memiliki keterkaitan erat dengan harga aset finansial lain, bahkan dengan harga komoditas. Integrasi pasar finansial dan pasar komoditas perlu diukur sebelum BI menambah cadangan emasnya.
Pertimbangan ketiga ialah skala rentabilitas harus tetap optimal. Penambahan cadangan emas harus mempunyai kemampuan untuk menghasilkan imbal hasil selama periode tertentu. Kegagalan mendatangkan imbal hasil justru akan menggerus cadangan devisa BI.
Dengan ketiga pertimbangan itu, pengelolaan cadangan BI menjadi sedikit berbeda dengan pengelolaan portofolio bagi lembaga keuangan atau investor yang kental dengan nuansa spekulasi. Maka, BI tidak perlu tergoda untuk segera menambah cadangan emas mumpung harganya naik.
Dengan alibi keamanan ini pula, BI tetap perlu menanamkan cadangannya di aset yang aman, semacam obligasi pemerintah yang ber-rating tinggi. Migrasi cadangan devisa ke emas berupa emas batangan atau hak kontraktual atas emas batangan tetap harus terukur karena harganya bisa berfluktuasi.
Kecukupan minimum emas juga penting digarisbawahi. Emas ialah bagian cadangan devisa yang ditujukan BI sebagai penyangga likuiditas dalam mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau pemenuhan kewajiban dalam valuta asing, seperti kebutuhan membayar impor dan utang luar negeri pemerintah.
Imbas dari penerbitan obligasi pandemi bertenor panjang di pasar keuangan global niscaya memberi tekanan tersendiri bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang. Belum lagi pembayaran utang luar negeri sektor swasta. Intinya, ketersediaan valuta asing tetap harus menjadi prioritas utama.
Tesis ini secara ilmiah memperoleh justifikasi. Riset Kandil dan Morsy (2014) menyimpulkan ketersediaan cadangan internasional di negara berkembang secara signifikan meningkatkan kredibilitas dan meredakan kekhawatiran tentang pengaruh ekspansi kebijakan fiskal terhadap biaya pinjaman dan bunga utang.
Jadi, pemupukan cadangan devisa tetap harus menjadi prioritas BI tanpa menafikan tujuan lainnya. Berbekal cadangan devisa yang likuid, gejolak eksternal dengan segala dampak negatifnya akan bisa diredam sehingga tugas utama stabilisasi rupiah yang diemban BI lebih mudah terealisasi.