Putu Setia
@mpujayaprema
Larangan mudik yang diberlakukan secara ketat, termasuk di daerah yang tidak berstatus pembatasan sosial berskala besar, sangat memukul para perantau. Mereka tak bisa kembali ke kampung halaman. Mereka dihadang polisi dan disuruh balik. Padahal, kalau balik lagi, mereka sudah kehilangan pekerjaan, tidak bisa lagi mencari nafkah. Dan bahkan sudah tak lagi punya tempat tinggal di rantau. Mereka sudah meninggalkan rumah kos.
Para perantau di Jakarta dihadang begitu meninggalkan Ibu Kota. Yang sudah tiba di Merak lewat jalan tikus, misalnya, dicegat di pelabuhan. Jakarta memang zona merah untuk Covid-19. Setiap orang yang keluar dari zona merah ini diyakini sebagai penyebar virus corona. Namun perantau asal Kabupaten Jember, Lumajang, Situbondo, yang mencari nafkah di Bali, kenapa juga dihadang di Pelabuhan Gilimanuk dan disuruh balik? Bali bukan kawasan yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Begitu pula daerah asal perantau.
Sepertinya berlebihan menahan arus perantau untuk pulang kampung, terutama dari daerah yang tergolong "bukan episenter corona". Apalagi kalau diingat ucapan Presiden Joko Widodo yang membedakan antara pulang kampung dan mudik. Pulang kampung itu bukan bertujuan berkangen-kangenan dengan keluarga, melainkan lantaran terpaksa akibat tidak ada lagi yang dikerjakan di rantau. Kalau pekerjaan tidak ada, penghasilan juga tak ada. Lalu bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Seharusnya pemerintah daerah dan aparat keamanan sealur dengan argumentasi Presiden: biarkan mereka pulang kampung sepanjang mematuhi imbauan seperti memakai masker, jangan menggunakan angkutan umum, dan siap dikarantina. Mereka bukan mudik. Mereka yang dihadang itu umumnya menggunakan sepeda motor atau mobil carteran yang penumpangnya bisa melakukan physical distancing.
Ada masalah yang lebih mengenaskan setelah para perantau disuruh balik. Mereka tentu kembali mencari tempat tinggal untuk berteduh. Dan bagaimana mereka hidup sehari-hari jika tidak punya bekal yang cukup? Apakah bantuan sosial bisa menjangkau para perantau ini?
Perantau di beberapa kota, sebut saja contoh Jakarta, memang bisa berharap pada bantuan pemerintah daerah. Undang-undang dan peraturan pemerintah menjamin bantuan sosial itu jika daerahnya menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Meski ada yang ragu bantuan tak tepat sasaran karena lemahnya pendataan para perantau, sudah ada mekanisme bagaimana menyalurkan bantuan. Di daerah yang tidak menerapkan pembatasan sosial berskala besar, seperti Bali, membantu perantau itu tidak mudah. Tak ada pendataan untuk penduduk perantau. Mereka pasti tidak punya kartu tanda penduduk Bali. Perantau itu umumnya mencari nafkah di sektor informal. Kini, saat Covid-19 sudah mengancam daya tahan orang Bali yang kena dampak ekonomi, dan masyarakat mulai berteriak meminta pembagian sembako, kita seharusnya ingat bahwa ada para perantau yang juga membutuhkan bantuan. Ini merupakan risiko, karena kita tidak membolehkan mereka pulang ke kampungnya.
Bersama melawan corona adalah anjuran yang selalu didengungkan. Bersama mengatasi dampak sosial dari wabah corona seharusnya juga dijadikan pedoman. Bantuan sosial hendaknya diperluas dan tak terpaku pada data yang ada pada Program Keluarga Harapan atau yang lumrah disebut keluarga prasejahtera atau orang miskin. Covid-19 membuat daftar orang miskin bertambah, apalagi disertai program "di rumah saja". Diam di rumah memang sangat penting untuk memutus wabah corona, asalkan tidak mati kelaparan.