Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya tak mencuri kesempatan dalam kesempitan. Ketika perhatian rakyat tersita oleh pandemi Covid-19, DPR dan pemerintah tidak sepantasnya bersepakat melanjutkan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.
Saat ini, pemerintah dan politikus di pelbagai penjuru dunia umumnya tengah berpikir dan berusaha keras menyelamatkan rakyatnya dari amukan wabah. Semua urusan yang tidak mendesak mereka kesampingkan, termasuk perbedaan orientasi dan kepentingan politik yang pada waktu normal kerap menjadi pangkal perselisihan.
Lain cerita dengan DPR dan pemerintah Indonesia. Pada Kamis lalu, mereka setuju melanjutkan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, dan omnibus law RUU Cipta Kerja. Dua rancangan pertama merupakan warisan DPR periode sebelumnya yang ditolak keras pelbagai kalangan masyarakat serta telah memakan korban jiwa dari kalangan mahasiswa dan pengunjuk rasa.
Sejak awal, RUU KUHP mendapat penolakan karena sarat pasal bermasalah. Dalam rancangan KUHP bertaburan pasal yang bakal membelenggu kebebasan masyarakat sipil dan mengobok-obok privasi. Sejumlah pasal dalam rancangan itu bahkan lebih buruk dari KUHP saat ini-yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda.
Adapun RUU Pemasyarakatan menuai protes keras, antara lain, karena melonggarkan syarat pembebasan narapidana kasus korupsi. Sejak 2012, agar bisa bebas bersyarat, napi kasus korupsi harus bersedia menjadi justice collaborator-bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan, melunasi denda atau uang pengganti, serta telah menjalani dua pertiga masa hukuman. Dalam RUU Pemasyarakatan, yang tersisa tinggal keharusan melewati dua pertiga masa hukuman.
Sementara itu, RUU Cipta Kerja-yang merupakan inisiatif pemerintahan Jokowi periode kedua-telah salah kaprah sejak awal. Penyusunan draf RUU yang dimaksudkan untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya ini sangat tertutup. Kementerian Koordinator Perekonomian hanya berkonsultasi dengan kelompok terbatas yang didominasi pengusaha. Publik sama sekali tak mendapat akses atas naskah akademik dan rancangan undang-undang sapu jagat itu.
Tak mengherankan, begitu draf RUU Cipta Kerja bocor, pelbagai kalangan masyarakat terperangah. RUU Cipta Kerja ternyata bakal lebih menguntungkan kalangan pengusaha dan investor, khususnya yang bergerak di sektor tambang. Kalangan buruh menolak RUU Cipta Kerja yang melucuti pelbagai perlindungan atas hak mereka. Di sisi lain, pegiat lingkungan meradang karena RUU tersebut melonggarkan persyaratan yang selama ini menjadi pengaman untuk meminimalkan kerusakan alam akibat kegiatan usaha.
Karena mengandung begitu banyak persoalan, rancangan undang-udang itu seharusnya dibahas secara saksama dan terbuka. Semua komponen masyarakat yang bakal terkena dampak setelah RUU itu disahkan harus mendapat kesempatan menyuarakan kepentingan mereka.
Walhasil, tak ada pilihan yang lebih pantas ketimbang menunda pembahasan semua rancangan undang-undang itu. Meloloskan RUU bermasalah ketika jutaan penduduk negeri ini panik menghadapi corona sama saja dengan merampok kampung yang penghuninya sedang dilanda bencana.