Demam Kereta Cepat

Jumat, 6 Maret 2020 07:30 WIB

Pekerja menyelesaikan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung "tunnel" atau terowongan 4 di Desa Malangnengah, Purwakarta, Jawa Barat, Ahad, 23 Februari 2020. Sementara itu pembebasan lahan menurut data dari PT KCIC sudah 99,96 persen. ANTARA/M Ibnu Chaza

Ki Darmaningtyas
Ketua Institut Studi Transportasi Jakarta

Sejumlah kota besar di Indonesia sekarang sedang demam kereta cepat. Mereka ingin membangun kereta ringan (LRT) atau moda raya terpadu (MRT), seperti di Palembang dan Jakarta, tapi kurang mempertimbangkan daya dukung fiskal mereka.

Paling tidak ada enam kota yang bernafsu membangun LRT, yaitu Bandung, Depok, Malang, Medan, Semarang, dan Surabaya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri sudah memiliki satu rute LRT Kelapa Gading-Velodrome dan akan membangun satu rute lagi, Pulogadung-Kebayoran Lama. Adapun Pemerintah Kota Tangerang Selatan amat bernafsu membangun MRT yang dapat menyambungkan Lebak Bulus sampai Tangerang Selatan.

Entah apa yang mendorong para pemimpin daerah ini mabuk pada moda transportasi tersebut. Mereka semestinya mengetahui dan belajar mengenai perkembangan LRT Palembang dan Jakarta yang sepi penumpang dan akhirnya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). MRT Jakarta memang ramai penumpang, tapi perlu dilihat berapa subsidi yang diberikan oleh pemerintah DKI setiap tahun. Apakah subsidi yang sama dapat diberikan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan bila MRT tersebut dibangun?

Belajar dari pembangunan kereta cepat di Palembang serta Jakarta dan sekitarnya, kita tahu bahwa investasi untuk membangunnya amat mahal. Investasi LRT Palembang, yang hanya sejauh 23,4 kilometer, mencapai Rp 11,33 triliun. LRT Jakarta, yang hanya 5 kilometer, investasinya mencapai Rp 6 triliun. Adapun LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya sepanjang 14,3 km (Cawang-Cibubur) dan 18,5 km (Cawang-Bekasi Timur), mencapai Rp 20,752 triliun atau Rp 467,08 miliar per km.

Advertising
Advertising

Besar biaya pembangunan LRT yang kompetitif untuk Indonesia adalah US$ 40-50 juta per km atau sekitar Rp 560-700 miliar per kilometer. Setiap kota yang gandrung pada LRT tersebut dapat menghitung sendiri besar investasi yang diperlukan untuk membangun LRT di kota mereka.

Biaya untuk membangun LRT ini bukan hanya biaya untuk konstruksi jalurnya, tapi juga konstruksi secara keseluruhan, yaitu pekerjaan struktur jalur, trackworks, railway system, stasiun, dan depo, serta pembebasan lahannya, baik untuk trase maupun depo. Mengingat dana investasi untuk membangunnya amat besar, apakah kota-kota tersebut memiliki dana yang cukup?

Kekhawatiran saya adalah keinginan pemerintah itu hanya karena dorongan konsultan tanpa didasari kajian finansial yang sungguh-sungguh. Kalau dikaji sungguh-sungguh, jangankan ingin membangun, bermimpi pun tidak berani karena dari mana dana besar untuk investasi dan subsidi untuk operasi akan diperoleh.

Di dunia ini, hanya MRT di Hong Kong dan Seoul yang dibangun tanpa subsidi. Artinya, moda transportasi berbasis rel, entah itu MRT, LRT, monorel, dan lainnya, membutuhkan investasi besar dan subsidi biaya operasi dari pemerintah. Apakah warga Tangerang Selatan merelakan sekitar Rp 500 miliar dana APBD dipakai untuk mensubsidi operasi MRT bila ditarik sampai daerahnya? Pertanyaan yang sama juga tertuju kepada masyarakat di Depok, Bandung, Medan, Semarang, dan Surabaya: apakah mereka rela dana Rp 500-1.000 miliar dari APBD digunakan untuk mensubsidi operasi LRT sepanjang masa?

Kajian Bank Dunia (2019) menunjukkan bahwa kapasitas pinjaman daerah (kota) sejumlah kota untuk membangun LRT amat rendah. Untuk pembangunan LRT sepanjang 20 km dengan dana US$ 460 juta, yang memiliki kapasitas cukup hanya pemerintah DKI Jakarta. Kota Surabaya pun hanya mampu US$ 329,4 juta. Apalagi kota-kota lainnya, seperti Bandung, Batam, Bekasi, Bogor, Denpasar, Depok, Makassar, Medan, Padang, Samarinda, Semarang dan Tangerang, yang kapasitasnya amat kecil. Bila kapasitas pinjaman mereka rendah, siapa yang akan membiayai investasi maupun mensubsidi biaya operasinya nanti? Mengharapkan swasta untuk berinvestasi di infrastruktur rel itu sama saja berharap gabus dapat tenggelam di dalam lautan alias muskil karena swasta itu penikmat infrastruktur, bukan pembangun infrastruktur.

Belajar dari Pemerintah Provinsi DKI yang berhasil membangun sistem bus rapid transit (BRT) yang biayanya jauh lebih murah dan kapasitas angkutnya dapat ditingkatkan sama dengan LRT/MRT, maka pilihan kota-kota lain untuk membangun sistem BRT jauh lebih realistis dibanding membangun LRT/MRT. Investasi BRT juga jauh lebih rendah dan bisa ditanggung bersama oleh pemerintah daerah dan swasta.

Subsidi yang diperlukan untuk operasi BRT juga jauh lebih kecil dibanding LRT/MRT. Atas dasar itulah, kita perlu mengingatkan para pemimpin daerah yang demam atau mungkin mabuk LRT/MRT, lebih baik mengubur mimpinya dan beralih ke BRT. Kementerian Perhubungan pun perlu belajar pada LRT di Palembang yang ternyata tidak menyelesaikan masalah, melainkan menjadi masalah sepanjang hayat, sehingga berhentilah memberikan izin membangun LRT/MRT baru.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya