Pasal Sembrono Omnibus Law

Penulis

Rabu, 19 Februari 2020 07:30 WIB

Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 30 Januari 2020. Aksi tersebut menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebab isinya dinilai akan merugikan kepentingan kaum buruh dengan mudahnya buruh di PHK serta pemberlakuan upah hanya bedasarkan jam kerja. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Upaya pemerintah pusat untuk mengambil alih kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah daerah melalui omnibus law perdana, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, harus ditolak. Tak hanya melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, rancangan itu juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Pengambilalihan kewenangan itu tercantum dalam Pasal 166 dan Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang diserahkan Kementerian Koordinator Perekonomian kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari lalu. Jika sampai lolos di Senayan, omnibus law ini akan memutar balik jarum jam sejarah dan mengembalikan Indonesia ke era sentralisasi kewenangan di tangan presiden seperti pada zaman Orde Baru.

Tengok saja Pasal 166 RUU Cipta Kerja. Pasal itu jelas mengubah prinsip dasar pemerintah daerah yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Jika omnibus law gol, semua peraturan daerah bisa diubah lewat peraturan presiden saja. Selain bertentangan dengan semangat desentralisasi pasca-gerakan Reformasi 1998, rancangan pasal ini bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV pada 2016, yang tegas-tegas menyatakan peraturan daerah hanya bisa dicabut oleh Mahkamah Agung.

Pasal 170 lebih ajaib lagi. Pasal itu menegaskan bahwa presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah untuk mengganti atau mengubah undang-undang, baik yang terkena dampak oleh aturan baru ini maupun undang-undang lain yang tidak diubah dalam omnibus law. Dengan kata lain, pasal ini akan memberikan kewenangan legislasi luar biasa kepada presiden, bahkan lebih tinggi dari DPR. Bayangkan: untuk mengubah sebuah undang-undang yang dinilainya keliru, presiden bisa mengambil jalan pintas tanpa perlu repot-repot meminta persetujuan wakil rakyat di Senayan.

Kedua pasal sembrono ini sudah cukup untuk membuat publik waspada akan rencana-rencana berbahaya di balik omnibus law. Berkedok aturan untuk menarik investasi, membuka lapangan kerja, dan menggenjot pertumbuhan ekonomi, RUU Cipta Kerja sejatinya adalah upaya mengubah habis-habisan wajah Indonesia pasca-Reformasi. Jika omnibus law ini melenggang tanpa perlawanan, tak ada lagi desentralisasi kekuasaan sampai ke daerah, tak ada lagi perlindungan lingkungan secara optimal, dan peran DPR akan kembali menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah saja.

Advertising
Advertising

Belakangan, pemerintah memang mencoba lempar badan dan mengaku pasal-pasal cilaka itu sekadar salah ketik. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. memastikan pemerintah tak berniat bertindak otoriter dengan merebut kewenangan DPR. Mereka juga memastikan "kesalahan ketik" itu akan dikoreksi bersama anggota Dewan dalam proses pembahasan RUU. Penjelasan semacam itu jelas tak masuk akal dan merendahkan kecerdasan publik. Agar tak makin kedodoran, Presiden Joko Widodo perlu menarik berkas RUU ini dari DPR untuk diperbaiki. Kali ini, ada baiknya pemerintah mengundang semua pemangku kepentingan sedari awal.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 19 Febuari 2020

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya