Ekonomi Rente Impor Bawang Putih

Penulis

Khudori

Kamis, 13 Februari 2020 07:00 WIB

Pedagang menata tumpukan karung bawang putih dari China di Pasar Kramatjati, Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020. Penutupan dilakukan sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus Corona dari Cina. Tempo/Tony Hartawan

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Cerita sampul hasil investigasi Tempo berjudul "Jejaring Hitam Bawang Putih" edisi 8 Februari 2020 memperkuat apa yang sudah terang benderang di wilayah hukum selama ini. Cerita itu dimulai dengan target swasembada bawang putih yang dibarengi kewajiban tanam 5 persen dari kuota impor. Hal itu kemudian melahirkan aneka moral hazard, baik dalam wajib tanam asal-asalan, gonta-ganti nama perusahaan agar tetap mendapat kuota impor, hingga sogokan ke pejabat pemberi izin impor.

Hal ini sudah tampak dalam sejumlah kasus. Pertama, vonis terhadap Direktur Cahaya Sakti Agro Chandry Suanda alias Afung, Direktur PT Sampico Adhi Abattoir Dody Wahyudi, dan Zulfikar yang menyuap I Nyoman Dhamantra-bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan-pada 6 Januari 2020. Mereka dinyatakan bersalah telah menyuap Dhamantra sebesar Rp 2 miliar untuk pengurusan penerbitan surat persetujuan impor (SPI) terkait dengan kuota impor bawang putih.

Kedua, praktik kartel guna memaksimalkan untung. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus praktik kartel 19 importir bawang putih pada 2014. Keputusan ini sempat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2015, tapi pada 2018, di Mahkamah Agung, putusan KPPU dikuatkan.

Dua bukti ini menunjukkan bahwa impor bawang putih telah menjadi ajang bisnis dan kejaran para pemburu rente yang menggiurkan. Ini antara lain didorong oleh keuntungan yang amat besar.

Advertising
Advertising

Sebagai pengendali dan penguasa pasokan bawang putih di pasar, para pemburu rente itu juga bisa memainkan harga seperti roller coaster. Mereka tinggal "menyetel" pasokan dan permintaan untuk menentukan harga yang diinginkan. Sebagai pengendali dan penguasa pasokan, mereka juga punya keleluasaan menciptakan kelangkaan semu di pasar. Pemerintah mati kutu dan tak punya kuasa untuk mengendalikan mereka.

Dengan begitu, bisnis impor bawang putih menjanjikan keuntungan yang gurih. Sebagai gambaran, sepanjang 2018, rata-rata harga bawang putih impor sebesar US$ 0,85 atau Rp 12.197 per kilogram. Adapun Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menyatakan harga bawang putih di pasar tradisional domestik bergerak sekitar Rp 16.650 hingga Rp 37.500 per kg atau rata-rata Rp 27.075 per kg. Pada 2019, potensi keuntungan importir lebih besar lagi. Dari awal hingga tutup tahun, harga bahan bumbu itu bergerak antara Rp 27.100 dan Rp 47.500 per kg.

Selain dari disparitas harga, potensi keuntungan importir bersumber dari besarnya volume impor. Pada 2018, Indonesia mengimpor 582.994 ton bawang putih senilai US$ 497 juta atau Rp 7,1 triliun. Impor itu 99,6 persen berasal dari Cina. Volume impor menjadi faktor pengali yang juga menggiurkan bagi importir. Semua keuntungan ini membuat pemburu rente melanggengkan tata kelola impor yang karut-marut.

Karut-marut ini bermula dari target swasembada bawang putih yang disertai pengendalian impor lewat pengaturan kuota. Inilah akar korupsi impor pangan. Intinya, pemerintah membagi kuota impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan domestik. Rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha. Secara pidana, rezim kuota bisa memfasilitasi persekongkolan antara pemberi dan calon penerima kuota. Dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antar-pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar (Rauf, 2016).

Rezim kuota ini dikendalikan lewat SPI yang otoritasnya berada di tangan Kementerian Perdagangan. Untuk produk tertentu, seperti bawang putih, importir juga harus mengantongi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebelum mengajukan SPI.

Penetapan penerima kuota impor yang tidak transparan membuka celah terjadinya korupsi, transaksi gelap, dan "hengki-pengki". Tak tertutup kemungkinan kuota impor hanya terkonsentrasi pada segelintir grup perusahaan. Ini kemudian membuat struktur pasar menjadi oligopoli, yang terpusat pada secuil pemain besar. Sebab, dalam banyak kasus, pemegang kuota impor juga mengendalikan pasokan pangan produksi lokal. Ujung-ujungnya, rezim kuota impor berbuah kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Produsen dan konsumen sama-sama dirugikan.

Bagaimana mengikis praktik culas ini? Pertama, di hulu, pemerintah harus menggenjot produktivitas dan efisiensi budi daya bawang putih. Hal itu bertujuan menekan disparitas biaya produksi dan harga bawang putih domestik dengan harga pasar dunia.

Kedua, mengubah sistem pengendalian impor, dari rezim kuota ke rezim tarif. Rezim tarif, selain transparan, bersifat adil karena memberi peluang yang sama kepada semua pelaku usaha. Perolehan tarif juga masuk kas negara, bukan ke kantong para pencoleng seperti yang terjadi selama ini.

Ketiga, dalam jangka pendek, diperlukan transparansi dalam penetapan penerima kuota impor. Hal ini bisa ditempuh dengan menggelar tender terbuka disertai persyaratan harga jual di pasar lokal. Langkah ini dilakukan untuk menutup peluang terjadinya moral hazard dan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tidak masuk akal.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

15 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

24 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

45 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

53 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

57 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya