100 Hari Penuh Kecemasan

Penulis

Rabu, 29 Januari 2020 07:30 WIB

Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 MK di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Jnauari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

BESOK menjadi hari ke-100 Kabinet Indonesia Maju bekerja jika dihitung dari hari pelantikan pada 23 Oktober 2019. Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada awal periode kedua pemerintahannya ini amat mencemaskan, karena cenderung mengabaikan demokrasi dan penegakan hukum. Yang paling kentara adalah cara Jokowi menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai bawahannya melalui revisi undang-undang.

KPK bukan lagi lembaga independen, karena komisionernya harus tunduk kepada Dewan Pengawas yang dipilih oleh presiden. Padahal demokrasi yang sehat selalu memerlukan alat pengontrol, karena kekuasaan cenderung korup. Mengebiri lembaga penegak hukum sekaligus menjadikan presiden sebagai lembaga superbody jelas menyebabkan demokrasi jadi pincang.

Kasus raibnya politikus PDI Perjuangan Harun Masiku, yang diduga menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum untuk menjadi anggota DPR, adalah contoh betapa tumpulnya KPK di bawah undang-undang baru. Integritas orang-orang pilihan Jokowi yang memimpin lembaga ini pun semakin dipertanyakan. Kasus Harun Masiku amat memalukan sekaligus merupakan preseden amat buruk bagi penegakan hukum di republik ini.

Barangkali hal ini karena cita-cita Jokowi pada masa kampanye lalu, yang ingin menciptakan "rezim investasi" dalam lima tahun ke depan. Sebagai pengusaha, ia berkeyakinan pembangunan ekonomi akan berhasil jika ditopang investasi. Jokowi pun menganggap pemberantasan korupsi menghambat pembangunan. Upaya menarik sebanyak mungkin investasi itu tidak keliru. Tapi sungguh salah jika Jokowi beranggapan pemberantasan korupsi menghambat investasi. Korupsi yang merajalela justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi sekaligus ketidakadilan sosial.

Langkah Jokowi berikutnya adalah membuat undang-undang sapu jagat atau "omnibus law" di bawah nama Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Undang-undang baru ini akan mengubah sekaligus menyederhanakan aturan dalam 70 lebih undang-undang yang berkaitan dengan investasi. Tujuannya, antara lain, memangkas aturan tumpang-tindih yang selama ini merepotkan investor.

Advertising
Advertising

Cara yang sepintas bagus itu di tangan Jokowi menjadi jalan pintas yang membahayakan lingkungan dan nasib tenaga kerja. Karena semangatnya menyenangkan pemilik modal, semua hal yang memberatkan mereka dihilangkan. Penyelia dampak lingkungan, misalnya, akan ditunjuk oleh pengusaha, bukan pihak ketiga yang independen.

Dari semua itu, ciri utama pemerintahan Jokowi dalam 100 hari pertama periode kedua ini adalah tidak mendengarkan suara publik. Penolakan terhadap rencana memindahkan ibu kota ke Kalimantan, misalnya, karena berbahaya bagi hutan Kalimantan dan akan makan ongkos besar, tak digubris oleh Jokowi. Presiden jalan terus dengan niatnya itu.

Presiden Jokowi menjadi antikritik. Proses pembuatan omnibus law pun terkesan dirahasiakan, sehingga masyarakat tak bisa memberi masukan. Indeks demokrasi Indonesia yang merosot dalam lima tahun terakhir dan berada di bawah Malaysia, menurut The Economist Intelligence Unit, telah menunjukkan bagaimana Jokowi bekerja. Benar-benar mencemaskan.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 29 Januari 2020

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

26 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

38 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

54 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya