Masalah Peraturan Presiden untuk Menata KPK

Rabu, 29 Januari 2020 07:30 WIB

Masalah Peraturan Presiden untuk Menata KPK

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Setelah pelantikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023, Presiden Joko Widodo berencana menerbitkan peraturan presiden (perpres). Hal ini dilakukan untuk melaksanakan beberapa hal yang secara pokok diatur dalam revisi Undang-Undang KPK, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tapi belum ada peraturan pelaksanaannya, sehingga dapat menghambat kinerja KPK, seperti pada operasi tangkap tangan dan penggeledahan.

Sebenarnya membuat aturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah berlaku merupakan hal yang wajar. Polemik mencuat karena Presiden hendak membuat peraturan pelaksana dalam bentuk perpres organisasi dan tata kerja. Masyarakat berprasangka bahwa, dengan perpres itu, Presiden hendak mengintervensi KPK. Prasangka tersebut merupakan asumsi yang prematur dan belum tentu benar.

Apakah tepat membuat peraturan pelaksanaan dari UU KPK dengan perpres? Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya". Tapi mengapa presiden tidak membuat peraturan pemerintah, melainkan perpres?

Jimly Asshiddiqie (2016) menguraikan bahwa peraturan presiden merupakan bentuk formal dari kebijakan (beleidregels) dan mengikat sebagai instruksi dari presiden kepada jajaran yang diatur melalui perpres tersebut. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menggariskan bahwa pembuatan perpres tidak memerlukan naskah akademik.

Advertising
Advertising

Jika dibaca melalui logika tersebut, asumsi bahwa akan ada potensi intervensi KPK oleh presiden memang bisa jadi benar. Persoalan sebenarnya adalah masyarakat mempertanyakan obyektivitas dari perpres yang akan diterbitkan tersebut.

Salah satu obyektivitas pembentukan peraturan perundang-undangan dilihat dari prosedur pembentukannya. Presiden seharusnya menetapkan peraturan pemerintah sebagai aturan organik di bawah undang-undang. Dalam konteks formal, prosedur pembentukan peraturan pemerintah lebih obyektif dibandingkan dengan perpres.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92 Tahun 2012 mensyaratkan adanya tahapan sosialisasi sebelum rancangan peraturan pemerintah disahkan dan berlaku efektif. Tahap sosialisasi ini dimaksudkan untuk transparansi dan memberi ruang partisipasi masyarakat. Mengingat sifat peraturan pemerintah adalah melaksanakan undang-undang, guna memastikan peraturan itu linier dengan undang-undang, masyarakat diberi kesempatan berpartisipasi. Dalam hal ini, pembentukan peraturan pemerintah lebih obyektif dibandingkan dengan perpres, yang tidak memerlukan tahap sosialisasi dan partisipasi masyarakat.

Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan peraturan presiden sebagai "Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan".

Maka, jika nanti mengatur pelaksanaan UU KPK dengan peraturan presiden, presiden secara kontekstual memahami perpres sebagaimana dalam frasa "atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan". Artinya, presiden memahami KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya, jika presiden tidak memposisikan KPK sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintah, tentu presiden menetapkan peraturan pemerintah.

Hingga saat ini Presiden belum mengumumkan draf resmi tentang perpres tersebut. Masih terlalu prematur untuk berkesimpulan bahwa substansi perpres tersebut tidak obyektif atau presiden hendak mengintervensi KPK.

Namun hal yang pasti adalah, jika mengatur pelaksanaan UU KPK dengan perpres, presiden memposisikan KPK sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Di sinilah letak polemik konstitusional yang sesungguhnya. Jika KPK berperan untuk mengawasi dan mewujudkan checks and balances, tidak tepat jika KPK diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

Di sinilah logika bahwa penerbitan perpres itu akan melemahkan KPK. Pemahaman yang tepat adalah bukan berasumsi bahwa substansi perpres akan melemahkan, tapi dengan meletakkan KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah, maka akan melemahkan peran KPK dalam melaksanakan checks and balances. Demikian juga jika KPK diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, akan rawan terjadi konflik kepentingan antara KPK dan organ negara terkait.

Maka, dalam hal ini, presiden lebih tepat membuat peraturan pemerintah. Guna mewujudkan transparansi dan menghindari polemik di masyarakat, akan lebih baik jika Presiden melibatkan seluruh komponen masyarakat. Logemaan (1987) menyebutkan bahwa pembentukan peraturan perundangan dengan partisipasi masyarakat akan menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pembuat undang-undang, sehingga aturan tersebut akan dapat berlaku efektif karena rendahnya resistansi masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa pengesahan UU KPK baru telah dipandang masyarakat tidak transparan, sehingga secara sosiologis kini masyarakat menginginkan aturan pelaksanaan yang transparan dan melibatkan masyarakat. Artinya, Presiden perlu menetapkan langkah hukum yang tepat, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan aturan pelaksanaan UU KPK.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

58 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya