Ketika Iklan Berasa Berita

Jumat, 24 Januari 2020 07:30 WIB

Ketika Iklan Berasa Berita

Ignatius Haryanto
Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang

Pagar api merujuk pada pengertian adanya pemisahan antara ruang redaksi media dan ruang iklan pemasaran media. Konsep ini diusung oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku klasiknya, Elements of Journalism. Pagar api dibutuhkan untuk memastikan bahwa siapa pun yang membaca konten media akan mengetahui dengan pasti konten yang dibacanya itu berita sungguhan ataukah iklan.

Pembedaan seperti ini penting dilakukan untuk tidak mengecoh pembaca dengan konten yang seolah-olah berita tapi sesungguhnya iklan atau tulisan berbayar yang dipesan oleh seseorang dengan tujuan tertentu.

Saat ini ada sebuah fenomena yang disebut sebagai native advertising, istilah yang merujuk pada pola penulisan di media yang membuat iklan terasa sebagai berita. Dari penjelasan ini saja kita sudah menemukan adanya kontradiksi bahwa iklan ditulis seolah-olah seperti berita. Bukankah ini saja sudah menunjukkan adanya upaya untuk mengecoh pembaca? Informasi yang diharapkan jadi landasan pijak, baik secara politis maupun sosial, dicemari oleh upaya untuk mencampur (twist) iklan sebagai berita dan sebaliknya.

Seorang rekan saya yang tengah menyelesaikan disertasinya dengan topik native advertising mengatakan bahwa fenomena ini tengah mewabah di berbagai media online. Banyak media yang tak menampik native advertising dan mengabaikan dampak etisnya. Dalam diskusi terfokus dan terbatas atas fenomena ini, yang saya ikut terlibat, terkuak juga pengalaman dan pandangan dari para dewan pengawas praktisi iklan dan kehumasan.

Advertising
Advertising

Pengawas praktisi iklan dan kehumasan telah mengingatkan bahwa dalam Kode Etik Pariwara Indonesia ada pasal yang jelas menyebutkan perlunya pembedaan antara iklan dan berita. Pasal itu berbunyi: "Isi pesan dan format iklan harus dibuat sedemikian rupa sehingga khalayak dapat dengan mudah membedakan antara isi iklan dan unsur satire atau parodi maupun dengan berita, karikatur, atau fiksi."

Kita sama-sama tahu bahwa Kode Etik Jurnalistik (2006) pun menekankan penulisan berita yang independen, menghasilkan berita yang akurat berimbang (Pasal 1). Wartawan Indonesia menempuh cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik (Pasal 2). Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang (Pasal 3), serta tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap (Pasal 6).

Pedoman Pemberitaan Media Siber yang disahkan oleh Dewan Pers pada 2012 juga menyebutkan bahwa "Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan" (Pasal 6 ayat a) dan "Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan atau isi berbayar wajib mencantumkan keterangan ‘advertorial’, ‘iklan’, ‘ads’, ‘sponsored’, atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut adalah iklan" (Pasal 6 ayat b).

Pembedaan yang dimaksud di atas, misalnya, mulai dari jenis huruf yang dipergunakan cenderung sama antara iklan dan berita atau pengumuman (disclaimer) bahwa tulisan tersebut adalah "advertorial, siaran niaga, sponsored, dan sejenisnya". Namun, yang terjadi dalam native advertising, nama rubrik yang memuat konten berbayar tersebut dibuat mengikuti nama rubrik resmi media tersebut. Ada juga praktik ketika rubrik yang memuat berita itu memiliki nama yang tak jelas, aneh didengar, dan bukan rubrik tetap dari media tersebut.

Dengan cara-cara seperti itu, maka ciri pembeda antara iklan dan berita pun dibuat sedemikian kabur sehingga pembaca awam sulit untuk bisa membedakannya. Mereka yang terbiasa mengamati media pun tak jarang terkecoh saat membaca konten-konten tersebut. Dikira berita, tapi ternyata iklan.

Mengapa native advertising berkembang? GetCraft mendefinisikan native advertising sebagai "bentuk konten berbayar yang ditampilkan dalam bentuk serupa dengan konten pada media dan area penempatannya". Jadi tampilan native advertising akan menyaru seperti konten media pada umumnya. Situs itu menyatakan bahwa fenomena ini berkembang sejak 2013, ketika aplikasi adblocker makin diminati publik karena bisa menutup iklan-iklan yang kerap muncul ketika sedang berselancar di Internet.

Di Amerika Serikat, fenomena native advertising pun sempat banyak muncul di kalangan media online, tapi ketika muncul kasus The Atlantic yang terjebak dengan native advertising ini barulah muncul kesadaran bahwa hal ini pun harus diatur dengan lebih jelas (Bakshi, 2015).

Para regulator media, yakni Dewan Pers, Dewan Etika Periklanan, dan Dewan Etika Kehumasan, rasanya perlu memikirkan isu ini dengan lebih serius. Perkembangan media kini semakin cepat dan kebutuhan akan cara beriklan secara kreatif juga ada, tapi pembaca atau konsumen jangan sampai dirugikan.

Tidak cuma satu-dua kasus yang muncul terkait dengan native advertising. Yang mutakhir adalah berita di sejumlah media online mengenai Gubernur DKI dan banjir Jakarta pada awal Januari 2020. Sejumlah pihak menuding Gubernur DKI memasang native advertising di sejumlah media online, dan beberapa media tersebut mengakuinya. Lepas dari soal benar atau tidak, di sini terasa ada kebutuhan untuk melakukan pengaturan terhadap fenomena ini.

Pagar api antara ruang redaksi dan ruang iklan tetap harus dibuat sehingga keduanya tidak saling bercampur dan membingungkan para pembaca. Industri media haruslah lebih dewasa untuk tidak mengakali para pembaca.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

28 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

40 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

56 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya