Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin telah berjalan kurang-lebih tiga bulan. Ini merupakan fase krusial bagi jalannya periode kedua kepemimpinan Jokowi. Fase awal selalu menjadi perhatian utama, terutama cara pemerintah menumbuhkan kepercayaan publik pasca-pemilihan umum yang begitu gegap gempita dan terpolarisasi tajam. Tentu, publik tak bisa menilai sukses-tidaknya periode kedua dari jangka waktu yang masih singkat, tapi bisa menjadi indikator keseriusan pemerintah untuk berbenah dan komitmen mereka menyelesaikan masalah. Di awal perjalanan periode kedua ini, komunikasi pemerintah masih belum terarah, bahkan muncul sejumlah paradoks komunikasi yang pelan tapi pasti bisa merugikan reputasi kepemimpinan Jokowi.
Jika kita evaluasi, dari sisi komunikasi, awal perjalanan periode kedua ditandai dengan sejumlah pernyataan para menteri yang kontroversial. Contohnya, kontroversi dari Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil yang sempat menyampaikan rencana penghapusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pernyataan yang disampaikan pada September 2019 itu pada awalnya terkait dengan rencana pemerintah yang terhubung dengan Omnibus Law Bidang Investasi. Sofyan menjelaskan, salah satu alasan penghapusan IMB dan amdal karena banyak pelanggaran dalam pengurusan izin tersebut sehingga proses perizinan semakin lama dan biaya menjadi mahal. Namun ide tersebut banyak mendapat kritik, terutama dampak negatif yang bisa timbul jika IMB dan amdal dihapus. Ide ini pun kini menepi lalu sepi.
Kontroversi juga mengemuka dari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi tentang cadar untuk mereka yang masuk ke instansi pemerintahan. Fachrul lalu mengklarifikasi bahwa cadar tidak diharuskan dalam agama Islam dan bukan penentu tingkat ketakwaan seseorang. Tapi Fachrul lagi-lagi memantik kontroversi ketika menyebut soal celana cingkrang.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sempat melontarkan wacana evaluasi pemilihan kepala daerah langsung. Namun, Presiden Jokowi, baik secara langsung disampaikan olehnya maupun melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman, memastikan tetap mendukung pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden secara langsung.
Benang merah dari kontroversi para menteri dan orang di sekitar Jokowi ini menandakan bahwa komunikasi pemerintah masih menjadi persoalan. Pertama, soal peran informasi secara tanggap, cepat, dan proporsional serta profesional. Sebuah kebijakan atau pernyataan yang memiliki dampak luas kepada khalayak harus mempertimbangkan kematangan basis informasi untuk dijadikan sebagai konsumsi publik. Supaya tak semata-mata ramai menjadi gelembung isu politik.
Dalam Teori Manajemen Privasi Komunikasi dari Sandra Petronio dalam Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclosure (2002), seharusnya komunikator memiliki pertimbangan dan pilihan peraturan sendiri mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari publik. Seseorang harus mempertimbangkan dan mengatur pesan yang diproduksi, dibagikan, dan diredistribusikan ke khalayak luas. Orang sekelas menteri, staf khusus, dan juru bicara adalah orang-orang yang harus selektif menyampaikan rencana kebijakan atau implementasi kebijakan serta siapa yang paling berwenang menyampaikan, kapan, dan melalui cara seperti apa.
Kedua, substansi isi pesan atau narasi yang dikonstruksikan ke khalayak luas. Hal ini memerlukan manajemen komunikasi yang wajib diperbaiki. Temuan, penyimpulan, dan rekomendasi kebijakan maupun gagasan pemerintah harus dikoordinasikan antara presiden, menteri, staf khusus, juru bicara, dan kementerian serta lembaga. Jokowi pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik yang ditandatanganinya pada 25 Juni 2015. Kenyataannya, instruksi itu tidak optimal dilaksanakan.
Clarke E. Cochran, dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebut kebijakan publik adalah hasil dari pertarungan dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Lahirnya sebuah kebijakan tentu tak berada di ruang hampa. Ada pergulatan, dialektika, bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, dan kepentingan. Namun, saat kebijakan diambil dan sudah menjadi "barang jadi", pemerintah seharusnya memiliki pandangan dan sikap yang sama, tidak membingungkan rakyat yang akan terkena dampak kebijakan tersebut.
Efektivitas komunikasi pemerintah akan terjadi jika dimulai dengan pembenahan pola koordinasi di lingkaran kabinet. Keluaran informasi publik menyangkut kebijakan harus berkarakter resmi dan memberi pengarahan. Namun, zaman sudah berubah, sehingga pemerintah juga harus banyak mendengar dan berdialog dengan rakyat sebelum kebijakan dieksekusi.
Kita bisa merefleksikan catatan ilmuwan Michel Foucault, dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (1980), bahwa kekuasaan kerap dipahami keliru, yakni sebagai kapasitas agen memaksakan kehendaknya atas kehendak orang atau pihak yang tak berdaya. Kekuasaan tidaklah demikian. Pemerintah jangan mengabaikan kehendak publik. Jika terus memantik ketidakpuasan atau membuat publik ketakutan, suatu hari hal itu akan menjadi gerakan perlawanan.