MENTERI Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate harus membuktikan bahwa janji untuk menutup situs film gratis bukanlah pepesan kosong. Perlu tindakan nyata, sehingga orang akan melihat ucapan itu bukan sekadar kalimat pemanis bagi calon investor.
Sejatinya tidak ada yang istimewa dari janji Menteri Johnny soal perlindungan terhadap kekayaan intelektual. Hangat-hangat tahi ayam perang terhadap pembajakan film sudah terjadi dari dulu hingga sekarang. Dulu, bila sedang musim razia, Satuan Polisi Pamong Praja akan menggerebek toko-toko atau pelapak yang menjual video compact disc (VCD) dan digital video disc (DVD) di Glodok, Jakarta Barat; dan di sentra-sentra penjualan film bajakan lainnya. Namun, beberapa saat kemudian, aparat mendiamkan saja ketika kembali bermunculan toko atau pelapak baru penjual film bajakan.
Dengan peningkatan kecepatan Internet, pembajak film beralih dari kepingan VCD/DVD ke streaming. Situs pemutar film pun telah lama menjadi incaran pemblokiran Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun perang terhadap film bajakan sekarang juga angin-anginan. Jika sedang musim perang, pejabat akan dengan lantang meneriakkan ajakan untuk memblokir situs penyedia film bajakan. Lima tahun terakhir, para pembajak itu dengan mudah kucing-kucingan dengan aparat. Mereka terus bersalin nama dan domain, dan tetap beroperasi.
Salah satu penyedia film bajakan itu, IndoXXI, misalnya, tetap bisa diakses. Di laman utama situs yang tiap hari dikunjungi lebih dari 200 ribu orang itu, pengelola mengucapkan salam perpisahan per 1 Januari 2020, tapi semua tak yakin apakah situs ini benar-benar berhenti beroperasi atau tidak. Lapak tetangga IndoXXI juga masih bisa dinikmati. Misalnya Bioskop Keren dan Layar Kaca 21.
Memblokir situs film bajakan memang terlihat keren. Namun cara ini sebenarnya tidak efektif. Sebab, IndoXXI dan kawan-kawannya semata hanyalah laman pemutar film. Film bajakannya itu sendiri-yang jumlahnya puluhan ribu film-tersebar di berbagai media penyimpanan. Memberangus situs tersebut ibarat hanya menggerebek ruang tamu rumah sementara membiarkan kamar-kamar di dalamnya tak tersentuh. Dengan sedikit pengetahuan Internet proxy, blokir itu juga mudah dijebol warganet.
Selama ada pasar, pembajakan akan terus menemukan jalan baru. Masalahnya, jumlah peminat film bajakan sangatlah besar. Survei YouGov menyebutkan 63 persen pengguna Internet di Indonesia pernah menonton film di web streaming, sebagian besar di IndoXXI.
Sayangnya, pemerintah juga tidak mendukung keberadaan penyaji film digital. Misalnya, Menteri Johnny lepas tangan saat konsumen memprotes PT Telkom yang memblokir akses konsumen ke situs Netflix. Ini adalah penyedia layanan film streaming asal Amerika Serikat dengan 158 juta pelanggan di dunia, termasuk 481 ribu pelanggan di Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah mengedukasi masyarakat untuk menonton film legal dengan mengakomodasi situs-situs penyedia film legal. Disrupsi digital telah mengubah cara menikmati sinema.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 27 Desember 2019